Sekuel. Satu kata dari perfilmanyang sudah menjadi hal lumrah sebagai mesin pengeruk uang. Mengekor dari kesuksesan film pertamanya jelas jadi alasannya. Tetapi, banyak sekuel akhirnya hanya menyalin formula-formula yang sudah ditampilkan di film predesesor-nya tanpa menghasilkan inovasi yang segar agar sekuelnya tidak basi dan itu sering terjadi. Maka inilah yang menjadi salah satu tantangan bagi pembuat film agar bisa memotivasi agar bisa mengalihkan pandangan bahwa film sekuel akan lebih buruk daripada film predesesornya.
Dan sekuel kali ini jatuh pada film animasi garapan Bluesky Studio yang dinaungi oleh 20th Century Fox, Rio. Film yang menceritakan tentang burung Macaw Spix yang sudah mulai langka ini menjalani petualangan lagi. Kali ini, Blu (Jesse Eisenberg) dan Jewel (Anne Hathaway) melakukan perjalanan ke hutan Amazon karena pemilik mereka menemukan tempat tinggal mereka.
Blu, Jewel, dan ketiga anaknya melakukan perjalanan tersebut untuk menemukan kembali spesies mereka yang terancam punah. Ketika mereka bertemu dengan spesies mereka, Blu mulai untuk beradaptasi dengan kehidupan asli sebagai burung. Ancaman lain datang oleh seorang bernama Eduardo (Andy Garcia) yang berusaha untuk menghancurkan hutan Amazon.
Bluesky Studio mulai terkenal di dunia film animasi dengan Ice Age sebagai tanda kehidupan dari studio animasi ini. Meskipun masih kalah saing dengan studio animasi lainnya, tetapi Bluesky studio produktif dalam menghasilkan karya-karya film animasi yang cukup banyak meraup keuntungan. Rio adalah salah satu film animasi milik Bluesky studio yang berhasil mendapatkan keuntungan cukup banyak. Pun mendapatkan cukup banyak tanggapan positif dari kritikus di film pertamanya.
Alhasil, Carlos Saldanha selaku sutradara terbuai dengan segala kesuksesan yang diraih dan memutuskan untuk membuat sekuel untuk burung-burung Macaw Spix ini. Memutuskan untuk membuat sekuel untuk para burung biru ini harus memiliki strategi yang baik agar sang sekuel bisa diterima oleh para penonton dan kritikus dengan baik. Terlebih, sang predesesor saja masih terjebak dalam beberapa cerita klise meskipun masih dibungkus cukup baik dan masih menyenangkan untuk disimak.
Nothing new and fresh even for jokes.
Sekali lagi, sebuah sekuel yang digadang-gadang akan lebih besar ternyata malah berujung pahit. Rio 2 gagal dalam memikat penonton dengan baik. Rio 2 menjelma sebagai film animasi dengan segala unsur klise yang gagal membungkus hasil akhirnya dengan indah. Bebeberapa template yang menyukseskan film predesesornya mungkin dihadirkan kembali. Warna-warna mencolok mata, lengkap dengan gimmick yang dimaksud untuk memaksimalkan format 3D yang dirilis oleh film ini.
Nyanyian-nyanyian indah yang diselipkan oleh film ini mungkin dapat menyita perhatian penontonnya. Meskipun, lagu-lagu di dalam film ini masih jauh dari kata memorable. Mungkin “What Is Love?” lagu pembuka yang sudah ditawarkan di trailer film ini yang bisa menjadi one bold performance untuk film ini. Tetapi, dengan hanya menawarkan semua itu di sepanjang film tak bisa memperbaiki banyak cerita yang sangat lelah untuk diikuti.
Cerita di film ini sangat formulaicdan sudah banyak ditawarkan di film-film animasi serupa. Alih-alih memberikan film animasi yang pas untuk disaksikan bersama keluarga dengan cerita yang ringan, tetapi malah menjadi bumerang bagi film ini. Mengemas cerita-cerita predictable itu lah yang menjadi kendala bagi film Rio 2 ini. Sang sutradara akhirnya masih menggunakan formula yang sama untuk film keduanya meskipun konfilk yang ditawarkan di film kedua kali ini berbeda.
Kendala lain adalah main conflict yang harus rela untuk terganggu dengan konflik-konflik sampingan yang membuat pandangan sang sutradara harus terbagi-bagi. Sangat terasa dengan durasi sepanjang 100 menit, sang sutradara menyelipkan berbagai macam konflik. Dengan keterbatasan itu lah, Rio 2 pun menjalani alur cerita filmnya dengan begitu terbata-bata karena masih kurang memiliki ruang untuk meng-eksplor konflik yang begitu banyak itu.
Tak berhenti di situ, humor-humor cerdas dan segar juga absen dalam Rio 2 kali ini. Suntikan-suntikan humor segar benar-benar berkurang dalam sekuelnya kali ini. Dengan metode humor slapstick, bukan menjadi senjata ampuh untuk membuat penonton tertawa lepas. Humor slapstick itu terkesan terpaksa dengan formula yang sama dan ter-repetisi dibanyak adegan di dalam film sehingga tidak bisa lagi mengundang tawa penontonnya. Mungkin satu-dua adegan masih mengundang tawa, tetapi hanya sebagian kecil dari 100 menit durasinya.
Sekuel memang harus menjanjikan sesuatu yang lebih besar. Rio 2 menjanjikan banyak hal yang untuk menjadi sesuatu yang besar. Meskipun cerita tak memiliki sesuatu yang besar, tetapi segi animasi dan para pengisi suara di film sekuel ini juga terlihat lebih besar. Memang, masih menggunakan duo Jesse Eisenberg dan Anne Hathaway sebagai pionir untuk film ini. Tetapi, masih ada banyak pengisi-pengisi suara dengan nama besar lainnya yang menghiasi film ini. Seperti Bruno Mars, Kristen Chenoweth, Andy Garcia dan masih banyak lagi.
Overall, Rio 2 adalah sebuah sekuel yang tidak bisa melampaui apa yang sudah diraih oleh film predesesornya. Tak menghadirkan sesuatu yang baru di segi cerita bahkan segi komedinya, penuh dengan formula yang klise yang tidak dapat dikemas dengan baik. Tak menjanjikan sesuatu yang besar walaupun dipenuhi dengan bintang-bintang besar di dalamnya. Bukan sekuel yang penting selain untuk mengeruk keuntungan.
0 Response to "RIO 2 (2014) REVIEW : NOT A BIGGER SEQUEL"