Seperti tak akan ada habisnya, adaptasi dari karya legendari milik Dewi Lestari kembali mewarnai perfilman Indonesia. Supernova : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh baru saja menyapa penontonnya di akhir tahun 2014 lalu dengan adaptasi yang masih kacau balau. Maka, kali ini giliran buku kumpulan cerita pendek milik Dewi Lestari, Filosofi Kopi, mendapatkan perhatian dari salah satu sineas Indonesia untuk dijadikan sebagai sebuah gambar bergerak.
Proyek ini mendapat antusias tinggi karena berada di tangan yang setidaknya sudah memiliki kredibilitas di bidangnya. Angga Sasongko, sutradara yang menangani Filosofi Kopi ini telah berhasil menelurkan karya-karya yang gemilang. Apalagi, Cahaya Dari Timur : Beta Maluku berhasil memenangkan Piala Citra dalam kategori Film Indonesia Terbaik. Maka, tak salah jika Filosofi Kopi akan dinanti-nantikan oleh para penikmat film Indonesia.
Filosofi Kopi yang berawal dari sebuah cerita pendek Dewi Lestari ini menceritakan tentang sepasang sahabat bernama Ben (Chicco Jericho) dan Jody (Rio Dewanto). Mereka telah bersahabat sejak mereka masih berumur belia. Hingga suatu hari, mereka memutuskan untuk membuka kedai kopi yang didasari oleh bagaimana Ben menguasai segala jenis kopi. Jody pun hanya menangani bagian finansial dari kedai kopi tersebut yang dinamai Filosofi Kopi.
Tetapi, sebuah tantangan muncul dari seorang pelanggan yang ingin tahu kehebatan dari Ben. Dia memberikan tantangan agar Ben membuat sebuah kopi paling enak yang pernah ada. Tantangan itu disetujui Ben karena imbalan yang diterimanya begitu menggiurkan. Ben menghabiskan berhari-hari untuk meracik kopi terenak yang pernah ia buat. Setelah berhasil membuat kopi terenak versinya, seorang perempuan bernama El (Julie Estelle) mematahkan harapan Ben karena merasa ada yang lebih enak daripada kopi buatannya.
Kesalahan sebuah film adaptasi adalah selalu memaksakan kehendak untuk setia terhadap sumber aslinya. Dan sekali lagi, medium untuk menyampaikan sebuah pesan lewat tulisan dan gambar jelas sesuatu yang berbeda. Akan ada sedikit perubahan yang dibutuhkan agar apa yang ditampilkan ke dalam sebuah gambar bergerak ini memiliki ruang gerak yang lebih luas tetapi padat dibandingkan sebuah buku atau cerita pendek.
Filosofi Kopi ini seperti tahu benar apa arti kata ‘adaptasi’ yang dimaksudkan untuk filmnya. Bukan hanya serta merta memindahkan setiap paragraf di dalam cerita pendek ke dalam naskah filmnya. Akan ada improvisasi dari Jenny Jusuf, selaku penulis skenario, untuk mengembangkan karakter-karakter yang memiliki cerita terbatas di dalam cerita pendeknya ke dalam naskah miliknya. Hal ini menjadi sangat bagus karena karakter Ben dan Jody menjadi sebuah karakter yang multidimensional.
Tak hanya berhasil membuat karakter-karakter yang akhirnya lebih multidimensional, pun juga memiliki dialog-dialog filosofis yang lebih dinamis. Jenny Jusuf tahu benar bagaimana mengadaptasi sebuah cerita pendek lawas milik Dewi Lestari dengan konflik-konflik yang memiliki relevansi dengan apa yang ada di sekitarnya. Jenny Jusuf dapat mengemas tren atau konflik masa kini tanpa lupa bahwa dia masih didasari dari konflik yang ada di dalam cerita pendek milik Dewi Lestari.
Bagaimana pun juga, penentu dari segala jenis aspek di dalam film ini adalah Angga Sasongko selaku sutradara. Dan sekali lagi, Angga Sasongko menyanggupi segala ekspektasi dari penontonnya yang mengharapkan sebuah adaptasi yang bagus. Filosofi Kopi tak hanya sekedar membicarakan kedua orang sahabat dengan konflik kedai kopi mereka saja. Tetapi, ada sesuatu yang lebih dalam yang coba ditawarkan oleh Angga Sasongko dengan jalinan emosinya yang begitu kuat.
Angga Sasongko berhasil benar menjadikan Filosofi Kopi ini menjadi sebuah adaptasi yang sangat solid. Dengan konten yang ringan, Filosofi Kopi masih bisa menunjukkan performanya yang sangat prima. Meski ringan, akan ada simbol-simbol yang diselipkan untuk membahas Kopi dengan lebih dalam. Layaknya sebuah kehidupan, Kopi tak selalu terasa manis di lidah tetapi akan ada sisi pahit yang juga harus dirasakan oleh penikmatnya dan itulah hal yang ingin disampaikan Angga Sasongko di film ini.
Tujuan Jenny Jusuf untuk membuat karakter Ben dan Jody menjadi lebih multidimensional adalah keputusan yang tepat untuk mengibaratkan setiap karakternya dengan Kopi sebagai medium refleksinya. Ben dan Jody pun tak melulu memiliki sifat manis yang gampang untuk dikagumi tetapi akan ada latar belakang yang pahit sebagai sokongannya. Sifat mereka yang saling bertolak belakang pun menjadi salah satu kekuatan film ini.
Ben yang berpegang teguh akan idealismenya, tetapi akan selalu ada Jody yang mencoba membangunkan Ben dengan sifatnya yang realistis. Dan begitulah manusia, bagaimana tetap ingin menjalankan apa yang menurutnya sesuai dengan kemauannya tetapi tetap mempertimbangkan segala aspek yang akan menjadi dampaknya. Tetapi, jika kedua sifat ini saling jalan berdampingan, tentu diri seseorang akan jauh lebih kuat.
Kekuatan Angga Sasongko dalam mengarahkan film ini memang patut diacungi jempol. Berkatnya, Chemistry antara Chicco Jericho dan Rio Dewanto pun berhasil keluar dengan sangat baik di layar perak. Mereka pun seperti benar-benar sudah berteman sangat lama di kehidupan nyata. Akan terasa bagaimana Rio dan Chicco sangat menikmati bekerja bersama Angga Sasongko dalam satu proyek film. Pun, didukung segi teknis yang menghadirkan panorama-panorama indah juga dilengkapi soundtrack manis yang semakin meyakinkan Filosofi Kopi sebagai sebuah film dengan paket komplit.
Segala manis dan pahit akan selalu hadir di dalam hidup seseorang dan hal itu menjadi tujuan utama dari film Filosofi Kopi. Jenny Jusuf dan Angga Sasongko berhasil berkolaborasi dalam mengadaptasi sebuah karya lawas dari Dewi Lestari dengan berbagai pembaharuan yang akan terasa relevan dengan zaman sekarang. Filosofi Kopi memanfaatkan benar dalam mengartikan arti kata ‘adaptasi’ di dalam filmnya. Filosofi Kopi ini adalah karya Idealis dari Angga Sasongko tetapi dengan kemasan yang realistis, layaknya Ben dan Jody.
0 Response to "FILOSOFI KOPI (2015) REVIEW : Refleksi Dalam Secangkir Kopi "