Latest News

The Jose Flash Review Battle of Surabaya

Ngomongin film animasi bangsa sendiri, jujur saya mengalami dilema yang cukup besar. Semua tahu, sebagaimana film ‘live action’ yang lagi lesu-lesunya, industri animasi yang jelas-jelas membutuhkan proses yang lebih rumit, melibatkan lebih banyak tenaga kerja, dan otomatis biaya yang susah dikompromikan, mengalami nasib yang tak jauh berbeda atau malah lebih buruk. Hanya pihak-pihak yang ‘nekad’ yang akhirnya berhasil menghasilkan karya untuk ditempatkan di layar lebar. Note this, ‘berhasil menempatkan karya’ aja, soal kualitas nanti dulu. Sebenarnya anak bangsa punya cukup banyak sumber daya manusia berkualitas di bidang animasi. Tak heran jika kita sering mendengar nama anak bangsa atau menemukan nama-nama Indonesia di credit film-film Hollywood. But once again, tak banyak kesempatan buat mereka berkarya atau sekedar mengembangkan skill di negeri sendiri. Apalagi penontonnya yang sudah terlanjur skeptis duluan. Maka apa yang dilakukan oleh Aryanto Yuniawan lewat MSV Pictures (Mataram Surya Visi), didukung oleh almamaternya, Amikom Yogyakarta, dan krunya, untuk meramaikan animasi nasional ini patut mendapatkan apresiasi tersendiri.

Mengusung message ‘there’s no glory in war’ Battle of Surabaya(BoS) mengangkat peristiwa 10 November dari kacamata seorang anak pengantar surat, Musa dan sahabatnya yang misterius, Yumma. Ketika Jepang kalah dan Sekutu dikabarkan akan kembali menduduki nusantara, para pejuang di Surabaya menyusun strategi untuk mempertahankan kemerdekaan. Musa yang berjasa dalam mengantarkan surat-surat penting petinggi perang, dihadapkan pada banyak hal yang terjadi dalam dirinya, yang harus membuatnya memilih siapa yang bisa ia percayai.

Membidik cerita bersejarah dari kacamata karakter fiktif sebenarnya jadi jalan yang paling baik dalam mengangkat tema historis. Selain mempermudah penyampaian cerita, juga lebih menarik dan adaptif terhadap penceritaan ala film yang punya keterbatasan durasi dan harus menjaga pace. BoS pun memilih sudut penceritaan demikian dengan tujuan yang sama, namun sebagai ‘pemula’ wajar jika tak berlangsung mulus. Apalagi ceritanya ditulis oleh Aryanto Yuniawan yang background-nya lebih ke teknis animasi (IT di STMIK AMIKOM Yogyakarta). First of all yang paling ‘mengganggu’ dari BoS adalah penceritaannya yang masih jauh dari kata rapi, sehingga tiap adegan terkesan berdiri sendiri, dan kontinuiti antar adegannya jauh dari kesan smooth. Tak mudah memang menyusun struktur cerita dengan latar belakang sejarah. Selain harus menjaga keseimbangan porsi, juga sebisa mungkin mengaitkan keduanya menjadi kesatuan yang pas. Sama dengan film Indonesia kebanyakan yang mengangkat unsur sejarah, BoS juga temasuk yang belum berhasil melakukannya dengan baik. Kalau boleh jujur, dari segi struktur dan alur cerita, malah seperti garapan tugas akhir mahasiswa DKV atau IT kebanyakan. Banyak pula adegan yang sebenarnya bisa diringkas sesuai tujuannya untuk menyelamatkan pace. Justru pace untuk momen-momen yang potensial mengundang emosi penonton yang dibuat terlalu cepat sehingga gagal mengundang simpati apa-apa dari penonton. Belum lagi banyak dialog yang hubungan antar kalimatnya bikin jidad berkerut.

Usaha BoS untuk memasukkan elemen-elemen pendukung dalam cerita agar terkesan lebih menarik juga tak banyak membantu. Mulai latar belakang masing-masing karakter yang disampaikan lewat adegan-adegan flashback hingga perkumpulan rahasia Kipas Hitam. Sayangnya kesemuanya ditampilkan apa adanya, tanpa dikembangkan menjadi korelasi yang lebih kuat. Khusus untuk adegan-adegan flashback-nya, klise dan agak kurang penting untuk ditampilkan menjadi adegan tersendiri, sehingga lagi-lagi, mengganggu pace cerita. Apalagi jumlah kemunculannya yang termasuk sangat banyak.

Untung BoS punya ending yang akhirnya berhasil menyentuh sisi emosional saya. Terutama sejak adegan Musa membaca surat-surat yang tak berhasil sampai ke tangan tujuan. Mungkin adegan-adegan setelahnya tak punya tujuan apa-apa selain ‘mengikuti’ film-film sejenis dan yang paling akhir ala-ala Les Miserables, namun saya mengapresiasi endingnya yang memang ‘menyentuh’. Finally.

Untuk urusan animasi, BoS memang patut mendapatkan apresiasi yang cukup tinggi. Meski ada beberapa adegan (untungnya bukan adegan yang melibatkan karakter utama dan bukan juga adegan utama) yang pergerakannya masih sangat keliatan keyframe-nya dan pergerakan bibir yang masih banyak tak sesuai dengan audio, overall menyajikan animasi yang tak hanya halus, namun juga latar yang sangat indah. Penggabungan animasi 2D dan 3D-nya juga cukup blended dengan apik. Lihat saja latar kota seperti Jalan Kaliasin, Jembatan Merah, serta latar desa Musa yang terlukiskan dengan sangat cantik dan cukup detail. Terlepas dari kemiripannya dengan animasi-animasi Ghibli Studio, sebenarnya tak salah juga mengingat memang ada unsur Jepang dalam cerita. Saya juga tak akan protes dengan sedikit inkonsisten gaya gambar pada prolog yang sangat berbeda dengan keseluruhan film. Secara keseluruhan, tampilan visual BoS sangat memuaskan, melebihi pencapaian kebanyakan animasi lokal kita.

Tak ada yang istimewa dengan penampilan para voice talent-nya, termasuk untuk karakter-karakter utama; Ian Saybani (Musa) dan Maudy Ayunda (Yumma), yang memang tak punya banyak karakteristik yang spesifik. Sebaliknya, suara Reza Rahadian yang begitu khas ternyata memberikan warna tersendiri meski presence-nya tak sebanyak Ian maupun Maudy. Meski tak terlalu konsisten, selipan istilah-istilah dan aksen Suroboyoan di beberapa adegan patut dihargai.

Meski tak terlalu maksimal, namun fasilitas Dolby Digital 7.1 cukup dimanfaatkan terutama untuk menghidupkan adegan-adegan perangnya sehingga terkesan menggelegar. Sayangnya suara-suara narasi terutama yang melalui siaran radio tidak memanfaatkan kanal surroundnya.  Editing gambar yang kurang berhasil menyatukan adegan-adegannya, ternyata juga disertai dengan editing score yang masih jauh dari kata smooth dan secara keseluruhan jadi terasa kurang nyaman ditelinga. Selain dari itu, lagu-lagu yang disumbangkan oleh Maudy sendiri, Angela Nazar, Sherina, Ungu, dan Afgan, cukup baik menyatu dalam film meski belum mampu terasa terlalu memorable juga.

Di balik segala kelemahan dan kelebihannya, BoS jelas menjanjikan semangat dan harapan baru bagi animasi Indonesia. Namun yang paling patut disayangkan adalah promosinya yang 'kepedean'. Buzz di IMDb hingga score 9.3 saat tulisan ini dibuat jelas terlalu berlebihan (saat ini sudah jadi bahan bully-an di twitter lho!). Bukannya apa, dengan ‘janji’ yang begitu muluk, namun presentasi yang demikian adanya, jelas bisa jadi bumerang; mencederai image sang produsen dan yang paling bahaya, mencederai kepercayaan penonton kita sendiri. Gara-gara promosi yang ‘kepedean’ ini, saya jadi ragu kebenaran berita ketertarikan Disney untuk membantu BoS. Melihat kualitasnya, setidaknya yang bisa saya percayai hanya sejauh Disney akan memberdayakan sumber daya manusia kita untuk memproduksi film animasi sendiri. Itu saja sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk mengembangkan animasi kita. Well, apapun yang sebenarnya terjadi, kita memang harus mendukung dan mengapresiasi bangsa kita sendiri, namun segala pemakluman jangan juga sampai membuat terlena atau delusional, hingga tak peduli untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan ke depannya. Semoga saja Aryanto Yuniawan tak sedelusional Demian Dematra, misalnya, dan bisa terus menghasilkan karya yang kualitasnya terus meningkat.

Lihat data film ini di IMDb dan filmindonesia.or.id.

0 Response to "The Jose Flash Review Battle of Surabaya"