Mafia atau gangster mungkin jadi salah satu sub-genre yang menarik. Negara manapun nyatanya bisa mengangkat tema ini ke dalam berbagai medium penceritaan, terutama film. Tak hanya Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang yang punya cerita cukup banyak dan panjang tentang mafia. Bahkan pedalaman kumuh dan miskin di India pun punya cerita epik mafia yang digagas oleh Anurag Kashyap lewat Gangs of Wasseypur tahun 2012 lalu. Indonesia sendiri sebenarnya punya riwayat yang cukup panjang tentang mafia dan gangster, mengingat premanisme sudah mendarah daging dalam sebagian besar masyarakat kita sejak dulu, mulai kalangan bawah sampai atas sekalipun. Tak heran jika sebagian besar masyarakatnya merasa lebih bangga jadi ‘preman’ ketimbang cendekiawan di sini, apalagi faktor batas ‘ditakuti’ dan ‘dihormati’ sangat-sangat tipis. Starvision menangkap fenomena ini dengan dibantu oleh penulis naskah Jujur Prananto dan salah satu sutradara langganan mereka, Fajar Nugros.
Di tengah-tengah lesunya penonton film Indonesia, Starvision tak mau ambil resiko menggarap film bertema gangster yang terlalu serius. Sebaliknya, Chand Parwez Servia lebih melirik selera pasar terbesar film Indonesia: tontonan yang murni menghibur. Fajar Nugros menangkap konsep ini dengan membuat Gangstersemenghibur mungkin. Tak perlu terlalu banyak alur cerita yang ribet, serius, dan lebih banyak dialog ketimbang laganya. Maka Gangster lahir dengan konsep blend martial art action dengan komedi yang memang dekat dengan keseharian masyarakat Indonesia.
Sosok utama di sini adalah Jamroni, pemuda desa yang harus menerima fakta bahwa selama ini dirinya bukan anak kandung dari ayahnya yang baru saja meninggal. Ditambah motivasi mengejar pujaan hati sejak kecil, Sari, Jamroni nekad ke Jakarta. Tak sengaja Jamroni bertemu seorang gadis yang sedang lari dari rumah karena akan dijodohkan, Retta. Siapa sangka membantu Retta justru membawanya pada masalah yang lebih besar dan melibatkan perseteruan dengan dua pemimpin gangster yang sama-sama ‘memegang’ Jakarta, Hastomo dan Amsar.
Di atas kertas (apalagi kertas flyer promosinya), sinopsis Gangsterterkesan ribet. Padahal pada kenyataannya alur cerita hanya dijadikan dasar berjalannya adegan semata, bukan komoditas jualan utama. Memvisualisasikannya secara dinamis dan cepat, Fajar jelas lebih memfokuskan dalam menghadirkan adegan-adegan yang menghibur dan remarkable. Mulai dari segi koreografi bela dirinya, dialog-dialog yang serius maupun komedik, karakter-karakter yang menarik, desain latar dan kostumnya, bahkan sampai sound effect tukang roti. Jajaran ensemble cast yang all-star juga menjadi komoditas Gangster untuk tampil lebih menarik dan meriah. Namun bukan berarti tak punya gagasan utama yang bold. Setidaknya tema 'janji' dengan cukup bold ditunjukkan lewat karakter Amsar-Hastomo dan Jamroni-Sari. Above all, yang paling berhasil menurut saya adalah blend yang seimbang antara action dan komedinya. Ada saat di mana satu adegan benar-benar terasa komikal namun berhasil bikin ketawa karena chaotic humornya yang memang lucu, tapi di adegan lain ketegangan karena keseriusan adegan juga mampu terasa dengan maksimal. Adegan-adegan pertarungannya pun cukup berhasil bikin exciting meski masih ada beberapa yang keliatan kaku, tidak begitu convincing, dan terkesan seperti sudah diatur, terutama 3-way fight antara Kelly Tandiono-Yayan Ruhian-Dian Sastro. Maklum dengan waktu latihan yang konon hanya 1.5 bulan, ditambah latar belakang para aktor yang bukan fighter sungguhan, apa yang tampak di layar sebenarnya sudah patut dihargai lebih.
Kelemahan terbesar Gangster sebenarnya terletak pada twist end-nya. Bukan karena seperti apa endingnya, tapi lebih karena ketidak peduliannya memberi waktu bagi penonton untuk merasakan emosi dari ending yang cukup potensial itu. Editing yang terkesan ‘hajar bleh’, konsisten dinamis sejak awal, langsung menjadikan ending ini bak tukikan tajam rollercoaster yang terasa antiklimaks. Sayang sekali.
Sebagai salah satu komoditas terbesar, jajaran cast-nya bisa dikatakan cukup bisa menjadi ensemble cast yang keren, meski penampilannya tak merata. Hamish Daud selaku pemeran utama tak lebih dari sekedar fighting machine utama. Tak banyak perkembangan karakter yang cukup berarti diberikan kepadanya. Nina Kozok yang menjadi ‘pendamping’-nya juga tak begitu menonjol selain fisiknya yang memang menarik dan aksennya yang sering tidak konsisten. Scene stealer jelas Dwi Sasono yang dengan mood-swing-nya berhasil menciptakan rollercoaster emosi di tiap adegan yang melibatkan dirinya, apalagi ketika beradu dialog dan akting bersama Agus Kuncoro.
Di jajaran cast pendukung, mulai Kelly Tandiono, Yayan Ruhian, Ganindra Bimo, Andrea Bimo, Dominique Sanda, bahkan sampai Dian Sastro, Dede Yusuf, Eriska Rein, dan Lukman Sardi yang perannya murni untuk menyemarakkan film, juga berhasil menciptakan excitement tersendiri di setiap penampilannya.
Tak ada yang istimewa dengan teknisnya, meski harus saya puji, sangat tertata dengan rapi. Mulai tata kamera Padri Nadeak, editing Yoga Krispratama, sampai tata suara yang maksimal. Tak hanya kanal 7.1 yang dimanfaatkan dengan maksimal untuk adegan-adegan laga, tapi juga editing music yang punya timing begitu pas dan blending dengan adegan. Keren!
Jika Anda mengharapkan Gangster menjadi cerita gangster/mafia yang serius, jelas Anda salah ekspektasi. Niat sejak awal sebagai tontonan yang murni menghibur dengan berbagai formula yang masih jarang dipadukan di film Indonesia, Gangsters sudah lebih dari cukup. Masih jauh dari sempurna, tapi cukup banyak yang remarkable dan highly entertaining!
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
0 Response to "The Jose Flash Review Gangster"