Pernah mendengar nama Agnes Davonar? Atau malah Anda pernah ‘termakan’ oleh cerita-cerita yang dibuat oleh dua penulis bernama asli Agnes & Teddy Li ini? Nama Agnes Davonar mulai dikenal karena tulisan-tulisannya di dunia maya yang kemudian dinovelkan, seperti Gaby dan Lagunya (masih ingat fenomena lagu Jauh Kau Pergi?) dan Surat Kecil untuk Tuhan (SKUT). Satu benang merah dari cerita-cerita karyanya adalah disease porn (maksudnya bukan cerita tentang penyakit dan pornografi lho ya, tapi eksploitasi penyakit) dalam upaya membuat penonton menangis, klise, dan jika mau diteliti lagi, sangat jauh dari logika apalagi fakta keilmuan tertentu. Dalam hal ini, medis. Membaca latar belakang keluarganya (kalau penasaran, silakan googling namanya, biografi singkatnya selalu muncul di halaman pertama kok), lantas membuat saya tak heran dengan cerita-ceritanya. Nevertheless, mengeruk keuntungan dengan mengeksploitasi kesedihan dan penyakit tapi melecehkan intelektual atau malah membodohi pembaca tetaplah bukan cara yang terpuji. Di layar bioskop, pencapaian tertingginya adalah ketika SKUT berhasil jadi top box office tahun 2011 dengan ditonton oleh 748.842 penonton. Hasil film-film lain yang diangkat dari novelnya seringkali flop, produser rupanya tak jera untuk terus mengangkatnya ke layar lebar. Upaya terbarunya adalah Bidadari Terakhir (BT) yang konon aslinya berasal dari cerita thread Kaskus yang mendapat banyak penghargaan serta rekor online pada tahunnya, lantas dinovelkan oleh Agnes dengan label “berdasarkan kisah nyata”.
Seperti biasa, klise dan dengan logika cerita yang sangat menggelikan. Tak heran kemudian menjadi kontroversi sampai muncul petisi untuk memboikot penayangan film ini (boleh di-googling juga kalau penasaran :D). Untung saja ada nama Awi Suryadi di bangku sutradara yang membuat saya sedikit tertarik untuk menyaksikannya. Meski sering mengerjakan proyek-proyek yang lebih bersifat komersial dan terkesan, maaf, murahan, namun Awi selalu berhasil memolesnya menjadi terkesan lebih berkelas. Berdasarakan pengalaman menyaksikan film-filmnya, saya masih menaruh trust kepada Awi.
Rasya adalah siswa SMA kelas 11 yang tergolong rajin dan cerdas. Mimpinya simple, lulus SMA, kuliah, mendapatkan pekerjaan seperti ayahnya, menikah, dan punya 2 anak. Namun mimpinya ini goyah ketika bertemu Eva, seorang PSK yang dikenalnya di lokalisasi Paradiso ketika diajak sahabatnya, Hendra, berulang tahun. Latar belakang keluarganya mengubah pola pikir Rasya dan kedekatan mereka tak terelakkan. Namun tentu saja Rasya harus menjaga rahasia hubungan mereka jika tak ingin merusak segalanya.
Remaja. Prostitusi. Penyakit. Secara garis besar memang hanya 3 kata itulah untuk menggambarkan BT. Ia punya semua elemen cerita klise, terutama penyakit sebagai akibat dari menjajakan diri (untung saja di film diubah dari sipilis menjadi kanker leher rahim) dan melacur karena ibu sakit keras-ayah tiri doyan judi. Tapi tunggu dulu. Priesnanda Dwisatria (penulis naskah Lily Bunga Terakhirku yang dirilis dalam waktu yang sangat berdekatan, sama-sama punya judul mengandung kata “terakhir”, dan sama-sama punya elemen prostitusi dalam cerita) yang dibantu oleh Fauzan Adisuko memodifikasi materi asli sehingga naskahnya punya lebih banyak kelebihan, terutama cerita yang lebih logis dan esensi yang lebih penting. Jadilah BT sebuah film yang basically bercerita tentang coming of age sebagi basis utamanya. Ditambah nasehat dari sang ayah yang bisa dipakai sebagai pola pendidikan keluarga, apa yang dilakukan karakter Rasya untuk Eva dan keluarganya jauh lebih kuat ketimbang sekedar faktor keluguan seorang anak SMA. Lebih detail lagi, memasukkan materi pelajaran ke dalam adegan, seperti aljabar dan biologi, juga patut mendapatkan apresiasi lebih karena termasuk sangat jarang ditampilkan dalam film remaja. Apalagi juga punya tujuan dan korelasi dengan alur cerita.
Sebagai sutradara pun, Awi Suryadi juga memvisualisasikan naskahnya dengan lebih elegan. Relasi antara Rasya dan Eva dibangun lewat momen-momen yang indah dan mengeksplorasi keindahan latar Balikpapan. Belum lagi ketika turnover cerita yang sebenarnya terkesan dipaksakan muncul dan tetap klise, mengikuti materi aslinya, namun berhasil divisualisasikan dengan begitu elegan, jauh dari kesan eksploitasi. Ada yang bilang tearjerker yang benar-benar bagus adalah yang mampu membuat penonton menangis tanpa memperlihatkan adegan menangis. Seperti itulah Awi membuat bagian klimaksnya. Part inilah yang membuat saya memberikan poin tambahan ½ pada score di atas. Sayang ada beberapa part setelah klimaks itu yang sebenarnya tak perlu ada, termasuk epilog 5 tahun kemudian yang tak penting dan justru meruntuhkan semua perkembangan karakter Rasya yang sudah dibangun dengan baik sejak awal.
Dibandingkan peran-peran sebelumnya, akting Maxime Bouttier di sini jelas terasa lebih berkelas dan berbobot. Sedikit mengingatkan saya dengan Irwansyah di awal karirnya, seperti ketika bermain di Heart. Terbukti dia bisa berakting lebih baik ketimbang peran-peran remeh di film abal-abal yang selama ini ia mainkan. Termasuk juga dalam menjalin chemistry yang dibangunnya bersama Putri Indonesia 2013, Whulandary Herman. Whulandary sendiri tampil begitu memukau di debut aktingnya ini. Meski masih tetap harus terus diasah supaya lebih natural, namun gesture dan pembawaannya untuk karakter Eva yang sensual, menggoda, namun juga cerdas dan rapuh, sudah cukup untuk membuatnya paling menonjol sepanjang film. Di deretan pemeran pendukung, saya memfavoritkan Ikang Fawzi sebagai ayah Rasya, terutama sekali terlihat ketika kekecewaannya mendapati Rasya tidak masuk 10 besar di kelas. Stella Cornelia yang matan personel JKT48, Julian Jacobs, dan Meirayni Fauziah juga cukup baik membawakan peran masing-masing meski tak sampai jadi memorable.
Sinematografi Memet Nakes patut mendapatkan kredit yang terutama di teknisnya. Meski masih ada beberapa camera movement yang masih kurang smooth dan berakibat pada kurangnya cinematic feel, namun termasuk efektif bercerita dan berhasil menangkap keindahan latar-latar Balikpapan dengan maksimal, terutama di Jembatan Mahakam dan di dermaga. Untungnya cinematic feel turut ditebus oleh shot-shot drone yang memang punya fungsi peran dalam adegan, bukan sekedar gaya-gayaan, pun juga dengan kualitas gambar yang masih terjaga, mengingat banyak film-film layar lebar yang kualitas gambarnya drop ketika shot-shot menggunakan drone. Pemilihan lagu-lagu dari Endah n Resha juga terasa begitu tepat dan mendukung adegan dengan sangat kuat; theme song Seluas Harapan yang manis dan Sayang saya tidak menyukai scoringnya yang terkesan diulang-ulang seperti layaknya score FTV dan dipotong dengan kasar sehingga terdengar kurang nyaman.
BT memang tipikal tearjerker klise, sesuai dengan materi aslinya. Tapi dengan naskah, penyutradaraan, dukungan cast, dan teknis lainnya, setidaknya sudah jadi karya yang jauh lebih baik dan bertutur dengan elegan, apalagi jika dibandingkan film-film yang diangkat dari novel Agnes Davonar lainnya.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
0 Response to "The Jose Flash Review Bidadari Terakhir"