Semejak Catatan Harian Si Boy tahun 2011 lalu, 700 Pictures termasuk salah satu PH baru yang konsisten menghadirkan karya yang bermutu. Satu per satu karya berkualitas dilahirkan oleh PH yang digawangi oleh Putrama Tuta (sutradara CHSB) ini. Antara lain dokumenter musik Noah Awal Semula dan Pintu Harmonika. Tahun ini 700 Pictures menawarkan sebuah film thriller psikologi yang masih tergolong jarang diproduksi di Indonesia, Lily: Bunga Terakhirku (LBT). Meski posternya agak meragukan dan misleading, naskah LBT ditulis oleh duet Ilya Sigma (istri Putrama Tuta) dan Priesnanda Dwisatria yang pernah menelurkan naskah CHSB, salah satu segmen Rectoverso, dan Mantan Terindah. Dwisatria sendiri juga menulis naskah untuk Bidadari Terakhir yang dirilis dalam waktu berdekatan dengan LBT dan kebetulan sama-sama berhubungan dengan prostitusi. Tak hanya itu, LBT turut menjadi debut aktor yang lebih dikenal di genre komedi, Indra Birowo, sebagai sutradara. Semua detail di balik project jelas membuat LBT menyandang status “menarik”.
Tura adalah seorang pemuda misterius yang tinggal sendirian di sebuah vila dan bekerja sebagai pemasok bunga-bunga segar. Salah satu kliennya adalah pemilik sebuah mansion yang menjadi rumah prostitusi kelas atas, yang dikenal dengan panggilan Bunda. Ketika mengirimkan bunga-bunganya, Tura tak sengaja bertemu dan segera jatuh hati dengan salah satu ‘anak buah’ Bunda yang konon jadi primadona di mansion itu, Lily. Tak heran, Lily adalah gadis muda yang cerdas, rebel, dengan penampilan yang begitu penuh pesona. Diam-diam Tura menjalin hubungan dengan Lily. Lily jadi semakin sering menolak klien yang ingin menyewanya, dan yang paling ngeri, satu per satu klien yang pernah menggunakan jasa Lily menghilang.
Nama karakter Tura yang awalnya membuat kening saya berkerut dan teringat karakter ‘tuyul’ di Jelangkung, ternyata berasal dari nama Datura, suku dari bunga Angel’s Trumpet yang konon berkhasiat sekaligus beracun. Penggunaan ini hanya salah satu contoh dari trivia menarik yang dihadirkan oleh LBT. Tak hanya dalam penamaan karakter, tapi juga dalam cerita utama. Poin ini yang menjadi paling menarik ynag dimiliki oleh LBT. Selain dari itu, cerita LBT dikembangkan seperti halnya kebanyakan thriller psikologis. Masih ada beberapa logika latar belakang cerita yang terkesan mustahil dan bagi penggemar genre sejenis, pasti bisa dengan mudah menebak jalan ceritanya. Namun harus diakui Sigma dan Dwisatria menuliskan naskahnya dengan alur yang rapi, berkembang dengan cukup pas, dan tetap menyisakan rasa penasaran di tiap menitnya. In short, LBT punya naskah yang menarik dan digarap dengan cukup rapi.
Namun melihat hasil akhirnya, LBT belum dieksekusi dengan maksimal. Mungkin faktor sutradara Indra Birowo yang masih pertama kali mengarahkan, LBT lebih terasa seperti sebuah drama ketimbang thriller psikologis. Terutama sekali terasa dari segi pace. Tak heran jika alur LBT terasa begitu lamban dan jika tidak sabar, jadi membosankan. Momen-momen yang seharusnya bisa mendebarkan jatuh menjadi biasa saja. Selain itu tiap adegannya juga berganti dengan kurang mulus sehingga seringkali terasa seperti berdiri sendiri-sendiri.
Memegang karakter utama sekaligus karakter kunci, Baim Wong di mata saya masih terasa miscast. Image drama romantis mendayu-dayu masih melekat kuat pada dirinya, meski terlihat sekali upayanya untuk memainkan watak psycho di sini. Not bad, apalagi sudah menghadirkan chemistry yang ok, terutama dengan Salvita, tapi jelas bukan kharismatik yang tepat maupun kuat untuk karakter psycho-nya. Sementara Wulan Guritno meski bukan performa terbaiknya, tetap merupakan pemeran yang tepat untuk karakter Bunda. Above all, performa Salvita Decorte lah yang harus diakui paling mencuri perhatian sepanjang durasinya. Masih agak meledek-ledak di beberapa bagian, namun secara keseluruhan sudah mampu menunjukkan pesona bintang yang menjanjikan. Sayang, yang paling mengganggu penampilan Haykal sebagai Tura kecil yang masih sangat kaku.
Meski juga tak terlalu istimewa, desain produksi dari Ricardo Marpaung memang punya banyak hal yang menarik dan bagus. Terutama sekali dalam menghadirkan rumah Tura yang punya part indah maupun mengerikannya, mansion Bunda yang berkelas. Didukung pula oleh sinematografi dari Patrick Lavaud yang cukup sinematis meski dengan set yang tak begitu banyak. Aghi Narottama sebagai penata musik yang punya pengalaman cukup tinggi di film bergenre thriller, mendukung adegan-adegan dengan baik, meski tak begitu memorable. Termasuk juga dalam menulis theme song yang creepily beautiful.
Kehadiran LBT memang bisa sedikit memberi warna untuk film Indonesia, terutama dengan detail naskah yang masih jarang ditemui. Namun eksekusi yang belum terlalu maksimal, patut disayangkan belum berhasil menjadikannya film psychological thriller yang kuat dan remarkable. But still, why not seeing it yourself in cinema? It’s not a bad presentation at all and quite interesting to follow, though.
0 Response to "The Jose Flash Review Lily: Bunga Terakhirku"