Nama John Green dalam sastra young adult saat ini memang berada pada garda depan. Setelah The Fault in Our Stars (TFIOS) sukses difilmkan tahun lalu, satu per satu karya novelnya menyusul diangkat ke layar lebar. Kali ini giliran Paper Towns(PT), yang bukunya pertama kali dirilis tahun 2008. Dengan tim yang kebanyakan sama dengan versi film TFIOS, PT juga masih mengusung tema yang tak jauh-jauh dari romance dan pencarian jati diri. Namun yang membuatnya sedikit berbeda dan (menurut saya) lebih menarik daripada TFIOS adalah kemasannya dalam menyampaikan tema-tema tersebut. Judul Paper Towns sendiri merujuk pada kota palsu yang dicantumkan oleh pembuat peta untuk menjebak pembajakan peta. Nantinya keberadaan kota palsu ini menjadi kunci dari kisah PT.
Quentin dan Margo yang tinggal bertetangga membuat keduanya bersahabat sejak kecil. Quentin yang hidupnya datar-datar saja tergugah karena Margo yang selalu antusias karena menganggap hidupnya penuh dengan misteri yang patut dipecahkan. Seiring dengan pertumbuhan, keduanya punya kehidupan yang saling terpisah meski berada di sekolah yang sama. Quentin yang tipikal remaja pintar bergabung dengan gank geeky-nya, sementara Margo menjadi bagian dari gank populer. Quentin yang sebenarnya masih menaruh hati hanya bisa berandai-andai Margo masih mau sekedar berteman dengannya. Wish came true ketika suatu malam Margo mendatangi Quentin, mengajaknya melakukan ‘petualangan’ kecil yang membuat Quentin menjadi individu penuh rasa penasaran seperti Margo, dan yang paling penting, memecahkan misteri yang dilakukan oleh Margo.
Jauh dari kata menye-menye dengan genre romance-nya, PT justru mengajak penontonnya bersenang-senang bertualang bersama Quentin dan gank-nya; Ben, Radar, Lacey, dan Angela. Sedikit mengingatkan saya dengan Road Trip, hanya saja jauh dari humor-humor seks. Ada beberapa yang menyerempet materi seksual, namun masih dalam porsi dan kadar yang wajar. Secara keseluruhan PT punya alur yang sangat pas dan tepat untuk dinikmati secara maksimal. Dimulai dengan perkenalan yang membuat penonton memahami betapa spesialnya Margo di mata Quentin, hingga adegan-adegan yang membuat penonton turut merasakan keindahan hubungan mereka berdua, menghantarkan pada petualangan utama yang dengan optimistis mengajak penonton untuk bersemangat mengikuti petualangan mereka. Hingga klimaksnya, PT baru menampilkan tema utamanya, above all that adventures and romance: pencarian jati diri. Saya belum membaca novelnya, tapi dengan struktur, esensi, serta nuansa film remaja yang seperti ini, PT berhasil menjadi film remaja yang tak hanya seru, manis, bikin penasaran, tapi juga cerdas.
Nat Wolff yang sebelumnya sudah kita saksikan aktingnya di TFIOS, kali ini dipercaya untuk mengisi peran utama dengan porsi yang jauh lebih banyak. Untuk itu, Nat berhasil menjadi figur yang menarik di balik perawakannya yang kurang convincing. Cara Delevingne yang sengaja dibikin sedikit lebih ‘misterius’ sepanjang film juga mampu mempesona namun dalam kadar yang wajar, tidak terasa berlebihan sama sekali. Austin Abrams dan Justice Smith sebagai Ben dan Radar berhasil menghidupkan film dengan tingkah mereka sebagai jokers.
Salah satu kekuatan terbesar PT adalah pilihan soundtrack-nya yang harus saya akui, kumpulan soundtrack yang terbaik tahun ini, so far. Rata-rata bernuansa alternative dan agak ‘hipster’, namun harus diakui semuanya berhasil menyajikan sound yang unik, remarkable, dan yang paling penting, menyatu sangat baik dengan adegan-adegannya. Mulai Santigold, Sam Bruno, Kindness, Vance Joy, Vampire Weekend, HAIM, hingga Nat & Alex Wolff sendiri. Tak ada yang istimewa untuk sinematografi, editing, maupun art directing. Semuanya pas sesuai kebutuhan adegan sehingga nyaman untuk diikuti.
Di tengah-tengah keringnya film remaja berkualitas saat ini, PT jelas menjadi remarkable. Tak hanya dalam kurung waktu beberapa tahun belakangan, malah menurut saya layak menjadi salah satu yang terpenting sepanjang masa. Buat Anda yang sudah melewati masa-masa remaja, PT seperti sebuah pengingat masa-masa indah yang bikin Anda tersenyum sepanjang film. Well, itu kalau masa-masa remaja Anda termasuk indah sih.
Lihat data film ini di IMDb.
0 Response to "The Jose Flash Review Paper Towns"