Siapa yang menyangka Ted menjadi blockbuster hit sleeper di tahun 2012? Salah satu film paling kontroversial di tahun 2012 itu begitu mengejutkan karena keberaniannya membuat karakter boneka teddy bear yang imut-imut dan dapat dengan mudah menarik perhatian anak-anak, ternyata gemar melakukan semua hal-hal negatif. Mulai mulut yang penuh dengan kata-kata kotor dan umpatan, doyan alkohol, sampai yang paling parah, doyan nyimeng serta main perempuan. Tak heran pihak bioskop kala itu begitu berhati-hati memperbolehkan penonton masuk ke dalam studio yang memutar Ted. Harus diakui, Ted adalah salah satu film komedi paling cerdas dan memang punya formula humor-humor yang begitu segar, terutama yang punya referensi ke berbagai pop culture. Meski pada akhirnya kebanyakan humornya menjadi segmented, ia setidaknya masih menyisakan humor-humor general yang masih bisa menghibur, dan punya heart yang juga cukup besar. Nama Seth MacFarlane pun semakin melambung pasca Ted. Sayang reputasinya ini tergolong singkat, terutama setelah karya selanjutnya, A Million Ways to Die in the West flop dan menuai review negatif dari banyak pihak. Namun proyek sekuel Ted terus berjalan dengan harapan bisa kembali memperbaiki reputasinya di jalur komedi, dengan masih dibantu oleh Alec Sulkin dan Wellesly Wild yang menulis naskah seri pertamanya.
Beberapa tahun setelah Ted pertama, John bercerai dengan Lori. Kabar gembiranya, Ted menikahi seorang wanita bernama Tami-Lynn. Namun kebahagiaan mereka tak berlangsung lama karena ‘perbedaan’ yang aneh. Atas saran seorang teman, Ted memutuskan untuk memiliki anak. Tentu saja secara biologis mustahil, maka pilihannya adalah mencari donor sperma atau adopsi. Namun dari keinginan mereka ini ternyata muncul masalah yang lebih besar: Ted tidak diakui sebagai manusia yang punya hak-hak sipil seperti warga Amerika Serikat lainnya. Satu per satu kehidupannya hancur, mulai pekerjaan sampai pernikahannya dengan Tami Lynn yang otomatis menjadi tidak diakui oleh negara. Dengan dibantu pengacara yang baru pertama kali memegang kasus, Samantha, Ted dan John berupaya mencari cara agar Ted kembali diakui sebagai manusia dan menyelamatkan semua aspek kehidupannya.
Tak seperti installment sebelumnya, Ted 2 punya premise yang sedikit lebih berat. Namun sebenarnya bisa saja dikemas dengan menarik dan tetap mudah dicerna, seperti yang pernah dilakukan Legally Blonde. Toh kali ini MacFarlane masih ‘berusaha’ menghadirkan energi yang sama, dalam arti humor-humor sejenis, seperti installment sebelumnya. Namun entah kenapa yang terjadi justru humor-humor gila yang dihadirkan kebanyakan tidak berhasil membuat saya (dan juga mungkin penonton lain) tertawa sekeras dan sekonstan ketika menyaksikan film pertamanya. Ada sih beberapa joke yang membuat saya spontan tertawa, terutama ketika Ted, John, dan Samantha menemukan ladang ganja dengan iringan score signatural franchise terkenal itu (tidak saya bocorkan demi menjaga keasyikan menonton Anda), namun kadar humor bereferensi ke berbagai pop culture yang tidak semuanya familiar dengan penonton Indonesia, ditambahkan cukup banyak dari seri pertamanya. Alhasil, alur ceritanya yang memang tak pernah terlampau jauh dikembangkan terasa begitu bertele-tele, dan premise utamanya, yaitu tentang upaya legalize Ted, terkesan hanya tempelan semata. Penyelesaian yang terlalu simpel dan remeh turut membuat Ted 2 berada jauh di bawah pendahulunya yang lebih ringan namun dikemas dengan takaran yang serba pas. Singkatnya, MacFarlane seperti kebingungan (atau kelelahan?) bagaimana lagi harus mengemas premise-nya yang cukup intriguing dengan energi yang setidaknya setara dengan installment pertama.
Karakter John yang tak begitu banyak dikembangkan membuat performance Mark Wahlberg menjadi tak lebih istimewa dibandingkan di seri sebelumnya. Bahkan mungkin mengalami degradasi yang cukup signifikan. Sementara spotlight kali ini tertuju pada Amanda Seyfried yang menghidupkan karakter Samantha dengan begitu gokil. Jessica Barth dan Giobanni Ribisi yang memang karakternya tak diberi porsi yang cukup untuk tampil menarik, tampil biasa saja. Begitu juga kehadiran Morgan Freeman yang sekedar sebagai cameo sosok wise man who saved the day magically.
Tidak ada yang istimewa di sinematografi, editing, maupun sound design. Namun adegan main title menghadirkan suguhan yang cantik sekaligus menyenangkan, terutama dari segi koreografi.
Mengalami degradasi yang cukup signifikan, Ted 2 setidaknya mungkin masih mampu menghibur, apalagi bagi Anda yang punya referensi ke pop culture Amerika yang cukup luas. Nikmati saja tingkah konyol si teddy bear kurang ajar ini tanpa berharap cerita yang terjalin apik.
Lihat data film ini di IMDb.
0 Response to "The Jose Flash Review Ted 2"