Latest News

The Jose State of Mind From German Cinema 2015 (Part 2/3)

Bagian sebelumnya.

Phoenix (2014)

Nelly Lenz adalah penyanyi Yahudi yang selamat dari kamp konsentrasi Nazi. Namun setelah lolos dari maut, Nelly harus menjalani operasi plastik yang membuat tampilan fisiknya berbeda. Dengan bantuan sahabat setianya, Lene, keinginan Nelly hanya satu: menemukan suaminya, Johnny, yang juga seorang musisi. Apakah benar Johnny selama ini mengkhianatinya seperti yang dituduhkan Lene, dan yang paling penting, apakah Johnny masih mencintainya. Nelly berhasil menemukan Johnny di sebuah klub malam bernama Phoenix. Betapa hancur hati Nelly ketika mendapati Johnny tidak mengenalinya, meski ia sudah berusaha keras menunjukkan tanda-tanda. Malahan Johnny beride agar ia menyamar menjadi istrinya yang kembali dari kamp konsentrasi agar mendapatkan warisan dari keluarga istrinya. Nelly menuruti permintaan Johnny dan mengaku bernama Esther, dengan harapan suatu hari ia benar-benar mengenali dirinya.

Diadaptasi secara bebas dari novel Perancis berjudul Le Retour des cendres (The Return from the Ashes), Christian Petzold dan almarhum Harun Farocki menjadikan naskah Phoenix jauh lebih sederhana dan berfokus pada hubungan Nelly dan Johnny. Dengan penuturan cerita yang tenang dan lambat, Phoenix menjadi drama arthouse yang sebenarnya cukup sederhana dan mudah dipahami, namun tidak semua penonton bisa menikmatinya. Untungnya, meski mungkin terasa membingungkan atau malah terkesan menggantung bagi penonton umum, ending Phoenixcukup mengesankan (baca: menggetarkan) berkat performa yang luar biasa dari Nina Hoss sebagai Nelly Lenz, membawakan lagu Speak Low. Chemistry yang dibangun oleh Hoss dan Ronald Zehrfeld juga menjadi kekuatan tersendiri.

Lihat data film ini di IMDb.

Auf das Leben! /
To Life! (2014)

Ruth adalah mantan penyanyi kabaret yang harus merelakan rumah sekaligus workshop alat musik yang sudah menjadi passion-nya selama bertahun-tahun, disita. Sebagai gantinya, ia menempati sebuah apartemen sederhana. Tak sengaja ia justru menjalin pertemanan dengan sopir jasa pemindah perabotan, seorang pemuda berusia 29 tahun, Jonas. Apalagi setelah sebuah kejadian membuat keduanya saling membantu. Terkuaklah sebuah penggalan masa lalu Ruth sekaligus rahasia Jonas yang diam-diam meninggalkan kekasihnya.

Meski premise utamanya membuat Auf das Leben! (AdL) terkesan lebih sebagai drama penemuan kembali jati diri, bukan sebuah film drama romantis, namun porsi flashback romansa antara Ruth dan mantan kekasihnya ternyata cukup banyak. Berkat pertalian alur yang apik serta pas dengan hubungan antara Ruth-Jonas pula lah yang menjadikan AdL sajian drama romantis yang sangat manis. Didukung oleh karakter Ruth yang sarkas dan seringkali mengundang humor berkelas, serta penampilan Sharon Brauner sebagai Ruth muda yang membawakan lagu-lagu klasik namun ceria, seperti Beir mir bist du schön, Rumenye Rumenye, Tumbalalaika, Vu is dos Gessele, dan Bublitschki bagelach, alurnya yang lambat menjadi terasa lebih menarik.

Lihat data film ini di IMDb.

Kreuzweg /
Stations of the Cross (2014)

Maria adalah remaja berusia 14 tahun yang sedang mempersiapkan diri untuk menerima Sakramen Krisma (sakramen yang biasanya diterima seorang Katolik ketika menginjak remaja, sebagai tanda penguatan iman sekaligus pembaharuan janji baptis). Kebetulan Maria dibesarkan di lingkungan Katolik fundamentalis yang menjalankan ajaran secara kaku dan menolak modernisasi, termasuk ajaran Paus yang dinilai sudah melenceng dari Gereja Katolik. Padahal Maria sendiri bersekolah di sekolah umum yang tentu saja sangat modern dan bertentangan dengan ajaran Gereja-nya. Pada akhirnya, iman yang dipegang teguh oleh Maria membuat ia berniat mengorbankan diri demi keluarganya.

Dari semua film yang ditayangkan di German Cinema kali ini, saya memilih Kreuzwegsebagai film yang paling menarik karena keunikannya. Pertama, penuturan ceritanya dibagi menjadi 14 babak sesuai 14 stasi (pemberhentian) prosesi Jalan Salib (prosesi mengenang sengsara Yesus Kristus yang dimulai dari Yesus dijatuhi hukuman mati hingga dimakamkan). Secara brilian, 14 stasi ini menjadi metafora yang relevan dengan cerita Maria. Kedua, tiap stasi yang ditampilkan adalah satu take panjang yang dimanfaatkan secara maksimal dalam menyampaikan cerita tanpa terkesan membosankan. Pergerakan kamera pun tergolong minim terjadi. Tentu saja ini juga berkat dialog-dialog yang witty dan kuat sepanjang film.

Overall, Kreuzweg adalah sindiran terhadap fundamentalis reliji yang tidak hanya terjadi pada Gereja Katolik. Namun ia sama sekali tidak menjustifikasi ajaran gereja mana yang benar. Bahkan iman Maria benar-benar terwujudkan bak mukjizat, yang otomatis sebenarnya mendukung kebenaran ajaran fundamentalis yang dianut Maria dan keluarganya. In the end, Kreuzweg lebih memilih untuk menampilkan realitas manusiawi sebagai konsekuensi dari pilihan iman keluarga Maria, terutama dari sang ibu.


Sebagai film dengan take yang serba panjang, performance para aktor-aktrisnya jelas patut mendapatkan apresiasi. Tak hanya Lea van Acken yang berperan sebagai Maria, tapi juga sang ibu yang diperankan Franziska Weisz, Lucie Aron sebagai Bernadette, dan Florian Stetter sebagai Romo Weber, yang berhasil menghidupkan karakter masing-masing dengan luar biasa.

Lihat data film ini di IMDb.

Bersambung ke bagian 3.

0 Response to "The Jose State of Mind From German Cinema 2015 (Part 2/3)"