Jelangkung adalah sleeper hit indie tahun 2001 yang tak terduga sebelumnya. Film ‘kecil’ namun memberi efek besar terhadap film Indonesia saat itu langsung melambungkan hampir semua yang terlibat. Mulai Winky Wiryawan sebagai aktor, Rony Dozer, Harry Panca, Jose Purnomo, dan juga PH Rexinema. Berangkat dari latar belakang itu, Rexinema yang sudah cukup lama vacuum (terakhir Jakarta Undercover tahun 2007), mencoba untuk menggali lagi fenomena Jelangkung, setelah dua sekuel yang belum bisa mengulang kesuksesan versi orisinilnya. David Poernomo yang di Jelangkung bertindak sebagai penata suara dan musik, kali ini mengambil alih bangku sutradara sekaligus penulisan naskah yang dibantu Ilya Sigma dan timnya; Priesnanda Dwisatria dan Dewi Piay. David sendiri setelah Jelangkung sudah berpengalaman menggarap beberapa film seperti Pocong vs Kuntilanak, Kutukan Suster Ngesot, dan Glitch: Tersesat dalam Waktu.
Cai Lan Gong (CLG) mengeksplorasi legenda Jelangkung jauh ke belakang, yaitu di daratan Cina beratus-ratus tahun lalu. Seorang pria bernama Chen Jun secara ajaib mengalami apa yang dialami oleh Benjamin Button: tubuhnya semakin menyusut hingga akhirnya harus hidup dengan bantuan sebuah keranjang buah agar bisa bermigrasi dengan mudah. Sejak itu keranjang buah tersebut dipercaya punya kekuatan magis. Cerita beralih ke An Yi, seorang wanita yang tetap cantik dan muda di usianya yang sudah menginjak 60 tahun. Ia dituduh sebagai penyihir karena anugerahnya ini. Penduduk desa yang khawatir memutuskan untuk membakar An Yi. Seorang shifu bernama Xian Min memanfaatkan roh An Yi yang penasaran ke dalam keranjang buah Chen Jun. Secara turun temurun keranjang buah ber-roh itu dijaga oleh Xian Min hingga bermigrasi ke Indonesia.
Setting beralih lagi ke masa kini di mana keranjang roh itu dijaga oleh A Kung. Tepat tanggal 15 bulan 8 menurut penanggalan Cina, A Kung berniat mewariskan keranjang ini kepada cucunya, Aileen lewat sebuah ritual yang diklaim berbahaya. Untuk itu, A Kung dibantu oleh anak buahnya, Chandra. Aileen pun mengajak Mary dan Rama, teman yang baru dikenalnya karena tertarik dengan ritual-ritual Konghucu. Namun ritual tidak berjalan mulus karena tentu selalu saja ada yang berniat memperebutkan hak warisan keranjang buah ber-roh tersebut.
Jujur, CLG membuka film dengan tampilan yang begitu menarik. Lewat visualisasi lukisan Cina jaman dulu, cerita sejarahnya benar-benar terkesan menarik dan masuk akal. Nuansa etnis Tionghoa dan bahasa Mandarin menjadi sesuatu yang masih jarang di sinema kita. Namun ternyata rasa ketertarikan saya harus sampai di titik itu saja. Ketika memasuki babak masa kini, CLG berubah menjadi tak lebih dari sekedar film amatir buatan anak sekolahan. Saya tidak akan terlebih dulu membahas teknis yang menggaungkan ‘film layar lebar Indonesia pertama yang dishot dengan smartphone beresolusi 4K’. Mulai dari penulisan dialog dengan koherensi dan kontinuiti yang kacau balau serta ngaco sengaco-ngaconya, sampai visualisasi yang masih jauh dari kata sinematis. Kalau ada teman saya yang mengucapkan dialog-dialog seperti di sini, pasti sudah saya tampar. Agak aneh juga melihat hasilnya seperti ini, secara tim penulis naskahnya (terutama Ilya Sigma) punya reputasi yang termasuk baik (salah satu yang terbaik di bidangnya, malah).
Banyak shot detail adegan yang terkesan tidak penting, selain hanya akan menghambat pace cerita menjadi terkesan lebih dinamis. Belum lagi subtitle yang menjelaskan istilah-istilah bahasa Mandarin yang jujur saya, mengganggu dan tidak efektif. Ketika menikmati sebuah film, penonton hanya akan membaca subtitle sebagai terjemahan langsung dari dialog. Maka subtitle yang sekedar memberikan arti satu kata menjadi tidak efektif dan terkesan menganggap penonton bodoh. Padahal istilah-istilah bahasa Mandarin dalam film ini sudah disebut beberapa kali, tak perlu juga untuk memberikan subtitle penjelasan tiap kali kata itu disebutkan.
Banyak shot detail adegan yang terkesan tidak penting, selain hanya akan menghambat pace cerita menjadi terkesan lebih dinamis. Belum lagi subtitle yang menjelaskan istilah-istilah bahasa Mandarin yang jujur saya, mengganggu dan tidak efektif. Ketika menikmati sebuah film, penonton hanya akan membaca subtitle sebagai terjemahan langsung dari dialog. Maka subtitle yang sekedar memberikan arti satu kata menjadi tidak efektif dan terkesan menganggap penonton bodoh. Padahal istilah-istilah bahasa Mandarin dalam film ini sudah disebut beberapa kali, tak perlu juga untuk memberikan subtitle penjelasan tiap kali kata itu disebutkan.
Secara horor, sebenarnya CLG masih tergolong lumayan. Masih bermain di jump scare yang menjadi favorit penonton Indonesia, tapi setidaknya masih ditempatkan dengan baik. Ada pula horor yang dibangun secara atmosferik, namun tidak tergali maksimal gara-gara timing dan sinematografi yang kurang pas. Ini juga terjadi pada adegan klimaks yang harus kehilangan energi thrill-nya gara-gara cukup banyak jeda beberapa detik di momen-momen gentingnya. Belum lagi ditambah logika cerita di part ini yang seolah-olah semakin kehabisan ide.
Dari jajaran cast yang rata-rata tergolong pendatang baru (kecuali, tentu saja Ronny P. Tjandra), sebenarnya tak buruk-buruk amat. Memang masih banyak awkward moment dan kekakuan di sana-sini, serta kharisma akting yang masing sangat lemah, namun masih bisa ditolerir. Misalnya Anthony Xie sebagai Chandra, Ineke Valentina sebagai Aileen, Rezca Syam sebagai Rama, dan Putri Ariani sebagai Mary. Sementara Ronny P. Tjandra sendiri terkesan begitu laid-back dalam membawakan peran A Kung. Bukan peran terbaiknya (saya masih akan menyebutkan 3Sum – Rawa Kucing sebagai peran terbaiknya so far), namun dari jajaran cast lainnya, Ronny jelas menunjukkan performa yang terbaik.
Saya tidak akan banyak protes dengan kualitas gambar yang dihasilkan dari smartphone beresolusi 4K. Meski menghasilkan gambar yang lebih ke smooth ketimbang sharp, warna-warni yang jauh dari kesan sinematik, dan fokus jadi kacau pada wide shot dan kondisi gelap, overall tidak jadi masalah yang begitu krusial bagi saya. Untuk shot-shot menggunakan drone ternyata bisa menghasilkan gambar yang cukup tajam meski ada beberapa bagian yang di-slowmo sehingga terkesan sedikit mengganggu. Tata suara terdengar sangat mantap dan memanfaatkan fasilitas surround dengan cukup maksimal, terutama dalam pembagian tiap kanal. Sayangnya, scoring masih banyak yang amburadul. Mulai sound yang pecah, sampai yang paling mengganggu adalah peletakan dan pemenggalan scoring yang ala-ala FTV. Terutama untuk scoring yang sifatnya ceria. Norak dan pemenggalannya tidak pas momen jika tak mau disebut kasar. Sebaliknya, scoring horror dan thrilling moment masih tergolong aman.
Dengan storytelling dan visualisasi yang seperti ini, CLG terasa seperti proyek yang mubazir. Padahal menurut saya, sebenarnya CLG punya konsep cerita (terutama part sejarah) yang sangat menarik dan berpotensi menjadi horor yang tak hanya menegangkan, tapi juga punya materi cerita yang bagus. Sayang sekali dengan eksekusi seperti ini, CLG harus jatuh menjadi just another cheap Indonesian horror, meski tanpa adegan esek-esek atau nudity.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
0 Response to "The Jose Flash Review Cai Lan Gong"