Siapapun yang pernah mencicipi era 90-an pasti mengenal seri novel anak dan remaja Goosebumps. Pada eranya, seri novel karya R.L. Stine ini memang mencetak banyak sjearah. Dari 62 judul dan beberapa seri lepas yang sudah beredar dan diterjemahkan ke dalam 32 bahasa, termasuk Bahasa Indonesia, berhasil terjual sebanyak 350 juta eksemplar di seluruh dunia. Tentu bukan angka yang main-main, hingga akhirnya menjadi franchise yang termasuk besar. Mulai serial TV yang berjalan selama 4 season, audiobook, games, komik, berbagai merchandise, sampai wahana taman bermain.
Rencana pembuatan versi layar lebarnya sendiri sudah terdengar sejak tahun 90-an, mulai dari George A. Romero yang bahkan sudah sampai merampungkan naskah, sampai Tim Burton yang kabarnya juga akan memproduksi di tahun 1998 bersama Fox. Semuanya batal hingga Sony Pictures mengambil alih haknya tahun 2008 dengan produser Neal H. Moritz (yang dikenal lewat franchise Fast & Furious dan xXx) dan Deborah Forte dari versi serialnya. Darren Lemke (Shrek Forever After, Jack the Giant Slayer, dan Turbo) ditunjuk untuk menuliskan naskahnya, sedangkan bangku sutradara diisi oleh Rob Letterman yang sebelumnya pernah mengarahkan Jack Black di Gulliver’s Travels. Tak mau sekedar mengadaptasi versi novelnya, Goosebumps versi layar lebar mencoba untuk menyatukan semua karakter signaturalnya ke dalam satu layar. Genre horor pun diubah menjadi petualangan bak Jumanji atau Zathura.
Zach Cooper harus pindah ke sebuah kota kecil bernama Madison, Georgia, karena sang ibu, Gale, memangku jabatan baru sebagai wakil kepala sekolah di SMA setempat. Tak sengaja Zach mengenal tetangga sebayanya, Hannah yang tampak ramah dan menyenangkan, tapi dikekang oleh sang ayah. Kecurigaan membawa Zach dan temannya, Champ, untuk menyelinap masuk ke rumah Hannah. Siapa sangka ternyata ayah Hannah adalah sang penulis novel horor anak fenomenal, R.L. Stine. Dan Mr. Stine menutup diri dari lingkungan bukan tanpa alasan. Tak sengaja mereka membawa semua monster dan makhluk gaib ciptaan Stine lewat novel Goosebumpsyang tak sengaja keluar ke dunia nyata. Kota Madison pun terancam sebelum mereka menemukan solusi untuk membawa semua makhluk itu kembali ke dalam buku.
Meski menggabungkan kesemua karakter signatural ala Cabin in the Woods bukan ide yang benar-benar baru, termasuk premise ala Jumanji, Zathura, atau Inkheart, Goosebumps versi layar lebar tetap terdengar menarik. Apalagi kehadiran karakter R.L. Stine yang membuat filmya bak biopic yang di-twist menyatu dengan cerita di dalam novelnya. Saya rasa tak ada yang keberatan dengan perubahan genre dari horor ke adventure, mengingat sumbernya adalah horor untuk target audience yang jelas susah untuk menarik range penonton lebih luas. Toh bagi penggemar novelnya, melihat karakter-karakter yang selama ini hanya ada dalam imajinasi benar-benar hidup dan dijadikan dalam 1 layar, sudah menjadi sebuah treat tersendiri.
Ekspektasi yang tak terlalu tinggi selain sekedar tontonan petualangan seru yang menghibur, ternyata membuat saya merasakan sesuatu yang lebih dari Goosebumps. Saya benar-benar tak menyangka Lemke dan Letterman memasukkan unsur-unsur esensi cerita, terutama tentang imajinasi dan move on yang cukup bold, relevan, dan divisualisasikan dengan begitu terasa. Ada beberapa adegan sederhana namun berhasil membuat saya sekedar tersenyum karena heart factor yang cukup besar dihadirkan di sini.
Faktor menarik lain dari Goosebumps adalah selipan-selipan jokes yang mungkin memang terkesan silly, campy, dan slapstick, namun most of them really worked. Jauh dari kesan ‘mengganggu’. Secara cerdas pula, trivia dan humor bereferensi pada pop culture, seperti tentang Stephen King dan The Shinning, Gulliver’s Travels yang merupakan kolaborasi Jack Black dan Rob Letterman sebelumnya, bahkan karakter figuran yang mengingatkan kita akan seri novel R.L. Stine lainnya, Fear Street. Tentu humor-humor ini yang memperkaya petualangan seru ala Goosebumps. Tak lupa pula cameo R.L. Stine himself di penghujung film yang if you blink, you’ll miss.
Sayangnya Goosebumps memvisualisasikan alur petualangannya dengan pace yang terlalu cepat. Memang masih ada beberapa momen yang bikin breathtaking, namun dengan pace yang serba dinamis membuat penonton tak merasakan excitement yang begitu maksimal. Well dengan kemasan komedi yang lebih mendominasi (dan berhasil), untungnya tak sampai menjadikan Goosebumpssebuah petualangan yang hambar dan flat.
Tak semua orang bisa memahami dan cocok dengan style kelakar Jack Black, namun kali ini ia lebih banyak bermain sesuai dengan naskahnya ketimbang ‘menjadi diri sendiri’ dengan joke-joke tipikalnya. Alhasil karakter R.L. Stine yang ia perankan pun berhasil menjadi karakter yang unik dan masih mampu memancing tawa lewat karakteristiknya, tanpa harus menjadi terlalu ‘Jack Black-ish’. Termasuk juga ketika mengisi suara Slappy dari Boneka Hidup Beraksi (Night of the Living Dummy) dan the Invisible dari Manusia Siluman (My Best Friend is Invisible) yang creepily funny. Dylan Minnette yang sebenarnya terlihat all-american-boy ternyata cukup mampu menarik perhatian. Ryan Lee sebagai Champ yang sebenarnya terkesan menjengkelkan di mata saya ternyata masih bisa menjadi sumber joke yang menghibur. Begitu juga Jillian Bell sebagai Aunt Lorraine, Amy Ryan sebagai Gale, serta Timothy Simons dan Amanda Lund sebagai sepasang polisi yang tingkahnya tak kalah menggelitik. Terakhir, tentu saja Odeya Rush sebagai Hannah yang jelas mencuri perhatian sejak awal kemunculannya hingga ending yang membuatnya begitu loveable. Odeya menunjukkan aura yang menjanjikannya karir cemerlang ke depan.
Petualangan yang terasa begitu fun dan mengasyikkan berasal dari sinematografi Javier Aguirresarobe (The Others, The Twilight Saga, dan Warm Bodies). Begitu juga desain produksi yang cukup istimewa, terutama desain FunHouse. Tak ketinggalan tata suara yang cukup sering memanfaatkan fasilitas surround untuk menghidupkan atmosfer banyak adegan. Sayangnya beberapa suara dialog masih terdengar tenggelam, terutama dialog Jack Black. But overall masih tidak terlalu mengganggu atau membuat dialognya menjadi tidak jelas terdengar.
Aspek juara lainnya tentu saja score dari Danny Elfman yang memang sudah maestro untuk film bertemakan sejenis. Playful dan creepily fun, tanpa kehilangan kemegahannya.
Sebagai sebuah sajian pure hiburan, Goosebumps memang menyuguhkan petualangan yang seru dan humor yang berhasil memancing tawa, pun juga blended dengan sangat baik. Aman untuk ditonton seluruh anggota keluarga, dilengkapi dengan naskah, karakteristik yang cukup kuat dan menarik meski tak cukup banyak dikembangkan, penyebaran trivia yang dijadikan joke, serta tentu saja hati yang cukup besar, Goosebumps berhasil melebihi ekspektasi saya yang memang sudah dekat dengan novelnya ketika pertama kali rilis di Indonesia. Review yang rata-rata positif, hasil box office yang termasuk tinggi, dan open ending, siap-siap Sony Pictures merencanakan sekuelnya. Semoga saja dengan naskah dan semua aspek yang setidaknya sama kuat seperti installment yang ini.
Lihat data film ini di IMDb.
0 Response to "The Jose Flash Review Goosebumps"