Jika tema penyihir sudah cukup sering diangkat di layar lebar, termasuk yang paling populer, Harry Potter, maka peran witch hunter atau pemburu penyihir baru populer beberapa dekade terakhir ini sebagai modifikasi dari peran pemburu vampire yang sudah lebih lama ada, seperti Van Helsing dan Buffy the Vampire Slayer. Tahun 2013 lalu dongeng klasik Hansel & Gretel ‘dipelintir’ sedemikian rupa menjadi Hansel & Gretel: Witch Hunters dan tahun 2014 lalu ada pula Seventh Son. Sayangnya tak banyak penonton menyukai ide ini, selain karena memang hanya sekedar modifikasi dari template pemburu vampire. Jatuhnya malah menjadi film action adventure bercita rasa kelas B. Apalagi dengan desain produksi yang cenderung itu-itu saja. The Last Witch Hunter (TLWH) adalah upaya terbaru untuk memberikan nafas lebih kepada genre witch hunter. Meski ditulis oleh tiga orang penulis yang berpengalaman menulis naskah bertema tema serupa namun hasilnya tergolong mediocre; Cory Goodman (Priest), Matt Sazama dan Burk Sharpless (Dracula Untold), TLWH mencoba peruntungan dengan menggandeng Vin Diesel dan sutradara Breck Eisner (Saharadan The Crazies yang tergolong menarik). Sayang sutradara bervisi unik, Timur Bekmambetov (Night Watch, Wanted, Abraham Lincoln: Vampire Hunter) batal menyutradarai. Padahal bisa dibayangkan betapa kerennya TLWH could have been di tangan dinginnya. But it’s okay, let’s give Eisner a shot.
Kaulder adalah salah seorang pemburu penyihir yang dikutuk hidup abadi oleh Sang Ratu Penyihir ketika hendak memusnahkannya. Dengan bantuan perkumpulan Gereja bernama Kapak dan Salib, Kaulder punya kaki tangan setia dari generasi ke generasi bernama Dolan. Di dunia modern keadaan sudah berubah. Para penyihir punya dewan sendiri yang mengatur kehidupan para penyihir sehingga bisa hidup berdampingan dengan manusia biasa. Ancaman muncul pasca upacara serah jabatan Dolan ke-36 kepada Dolan ke-37. Dolan ke-36 ditemukan tewas. Dari penyelidikan Kaulder, kematiannya tidak alami. Benar saja, dalang di balik pembunuhan itu adalah seorang penyihir bernama Ellic. Ditangkapnya Ellic ternyata merupakan awal dari rencana besar yang mengancam keberadaan umat manusia.
Dengan template dari film bertema serupa, TLWH memang tak menawarkan sesuatu yang baru. Begitu pula dengan elemen-elemen berkaitan dengan penyihir yang mungkin masih bisa menarik bagi beberapa penonton. Namun untungnya Breck Eisner mampu menerjemahkan naskah Goodman-Sazama-Sharpless yang biasa-biasa saja menjadi sebuah tontonan yang masih enjoyable. Terutama berkat pace yang tergolong efektif dan fantasi penonton tentang apa yang mungkin bisa terjadi selanjutnya, yang bisa membuat penonton terus tertarik untuk mengikuti alurnya. Meski rasa penasaran cukup terasa kuat di 1st act namun menurun di act-act berikutnya, setidaknya TLWH menawarkan visual yang menghibur dan jauh dari kesan kelas B.
Sayangnya yang cukup mengganggu dari alur cerita TLWH adalah cukup seringnya terjadi elemen-elemen cerita yang tiba-tiba terselip di sana-sini tanpa setup yang cukup kuat. Alhasil, alih-alih narasi cerita terkesan rapi, saya seringkali secara spontan berujar, “lah, kok jadi gini sih? Kok gitu sih?”. Contoh yang paling mudah dirasakan adalah ketika Kaulder bertarung di klimaks, tiba-tiba di-cut ke adegan serangan serangga. Saya jadi bertanya-tanya apakah itu pertanda baik atau buruk. Baru kemudia disambung lagi ke adegan pertarungan Kaulder. Atau ketika klimaksnya, bukannya Kaulder mengalahkan musuh utama dengan senjata andalan, justru menggunakan sesuatu yang tak terduga di awal film. Penonton butuh waktu sekian detik untuk mengingat-ingat sebelum memahami benda apa yang digunakan Kaulder itu. Meski pada akhirnya penonton dibuat paham juga korelasinya, namun tetap saja ada momen di mana seringkali terjadi lompatan-lompatan adegan yang terasa tidak rapi dan tidak runtut. Other than that, TLWH was still quite entertaining.
Sebenarnya Vin Diesel tampil kharismatik di sini. Tapi saya tidak bisa bohong, ada beberapa momen yang membuat saya tertawa padahal adegannya cukup serius. Misalnya tiap kali Kaulder dari era 800 tahun lalu atau ketika Kaulder memeluk Chloe. It just looked awkward. Sorry, maybe because of Diesel’s tough image all this time that just didn’t fit with such scenes. Elijah Wood pada act pertama cukup banyak diberi porsi, lantas harus puas dengan porsi terpinggirkan di act-act berikutnya, hingga sebuah twist yang meruntuhkan penokohannya menjadi berkeping-keping. Sayang penulisan karakternya yang tidak konsisten harus membuatnya kehilangan simpati penonton. Rose Leslie boleh sedikit lebih berbangga karena karakternya diberi porsi lebih. Meski tak sampai memorable, namun karakter Chloe yang diperankannya cukup kuat di benak penonton setidaknya sampai film berakhir. Sementara aktor pendukung yang karakternya terasa paling kuat dan memorable, meski porsinya lebih banyak di awal dan akhir, tentu saja Michael Caine.
Meski tak ada yang terlalu istimewa dari desain produksinya, namun beberapa desain harus diakui terlihat indah. Misalnya bar Chloe dan ruang dewan penyihir. Tak ketinggalan CGI yang ternyata sangat memuaskan, memanjakan mata, dan jauh dari kesan murahan. Sinematografi Dean Semler cukup baik meng-capture kesemuanya, meski ada satu-dua shot close up sekian detik untuk adegan pertarungan yang terlalu dekat sehingga terlihat tidak begitu jelas. Sebaliknya, tata suara berperan maksimal dalam mendukung semua elemen ceritanya. Crisp dan full of detail. Termasuk juga fasilitas 7.1 surround yang dimanfaatkan dengan sangat maksimal di tiap kanalnya. Scoring Steve Jablonsky cukup mendukung nuansa adventure, walau tak sampai jadi memorable. Tak ketinggalan, Ciara yang menyumbangkan recycle hit milik The Rolling Stones, Paint It, Black, yang sangat sesuai dengan filmnya.
Dengan elemen-elemen yang familiar dan tak ada yang benar-benar baru dari sub-genre sejenis, TLWH ternyata mampu menjadi sajian yang setidaknya menghibur. Sedikit di atas rata-rata tipikal film sejenis and overall, still quite enjoyable. Open ending membuatnya memungkinkan untuk menjadi sebuah franchise baru. Namun tentu saja kita harus melihat hasil box office dari film berbudget US$ 90 juta ini nanti untuk memastikannya.
Lihat data film ini di IMDb.
0 Response to "The Jose Flash Review The Last Witch Hunter"