Penonton film Indonesia mungkin mengenal nama Daniel Topan sebagai aktor pendukung di film-film horor seperti Danau Hitam dan Oo Nina Bobo, atau dengan porsi yang sedikit lebih besar di Street Society. Namun ternyata Daniel punya background pendidikan yang membuatnya layak pula duduk di belakang layar, Daniel mengantongi gelar master degree in film making di New York Film Academy. Maka Daniel mencoba peruntungan memproduseri film sendiri di bawah payung DT Films. Kiprahnya dimulai dengan sebuah film horor yang trailernya sempat menarik perhatian pecinta horor di seluruh dunia, Badoet. Daniel menggandeng sutradara yang gemar mencoba berbagai genre namun dengan kualitas dan style signatural, Awi Suryadi, yang pernah mengarahkannya di Street Society.
Badoet mengambil setting di sebuah rumah susun pinggiran kota Jakarta. Kehidupan bertetangga yang harmonis terusik ketika sekelompok anak-anak tak sengaja bermain petak umpet di sebuah pasar malam yang masih belum buka. Vino, salah satu dari anak-anak itu, membawa pulang sebuah kotak musik dari salah satu stand di pasar malam. Siapa sangka kotak musik yang ia tunjukkan ke teman-temannya ini membawa bencana. Satu per satu temannya tewas secara misterius. Teror ini membuat Donald, seorang mahasiswa yang juga sering menjadi teman main Vino, penasaran. Bersama Farel, sepupu Donald, dan Kayla, mereka mencoba mengungkap apa yang menjadi penyebab kasus-kasus kematian misterius itu. Petunjuknya, kesemua anak yang meninggal meninggalkan gambar-gambar sosok badut. Ketika ketiganya hampir menjadi korban, muncul Nikki, cewek indigo yang sebelumnya sempat twit-war dengan Donald di twitter. Feeling Nikki yang tidak enak berujung pada revealing siapa sosok badut yang misterius ini.
Sosok badut di film horor sebenarnya masih tergolong sangat jarang. Namun karena pernah tampil dengan sangat menyeramkan hingga menjadi sosok iconic di It (1990). Kemudian Eli Roth tahun 2014 juga pernah mencoba memproduseri Clown yang juga menampilkan sosok badut di film horor. Dengan referensi yang tak terlalu banyak, maka tak heran jika banyak yang teringat dengan film-film tersebut sejak Badoet diperkenalkan, bahkan tak sedikit yang menuduhnya menjiplak. Wajar, mengingat banyak orang Indonesia (yang belum tentu merupakan penonton film Indonesia juga) yang selalu sinis dengan film Indonesia dan hanya jago menuduh plagiat padahal hanya berbekal referensi yang minim. Jika mau melihat lebih dalam, Badoet punya cerita yang jauh berbeda. Ada pula yang mengatakan The Conjuring dan Sinister sebagai referensi, itu juga wajar. Jika Anda pernah berada di project film-making tentu Anda tahu betul bahwa ketika pitching naskah pun, Anda akan diminta untuk menyebutkan beberapa judul sebagai gambaran bakal seperti apa look dan feel filmnya nanti. So, it’s really not about originality at all. Lagian, what’s really really original nowadays? Semua judul yang disebutkan juga punya referensi mirip dengan plot film lain sebelumnya. So let’s not make these as issues, apalagi tanpa modal referensi dan informasi yang cukup.
Back to Badoet. Dari trailernya tak sedikit yang mengira ini adalah sebuah thriller pembunuhan. Tak sepenuhnya salah, namun sebenarnya Badoet adalah pure horror dengan latar belakang mistik (baca: Badoetmenghadirkan sosok makhluk halus, bukan manusia pembunuh). Namun jangan keburu skeptis dulu. Kendati menghadirkan makhluk halus dan masih menyisakan beberapa jumpscare yang menjadi ‘hiburan utama’ bagi kebanyakan penonton horor kita, namun ia tak mau terjebak menjadi horor murahan yang hanya bermodalkan jumpscare. Ia justru memanfaatkan teror kematian yang bikin deg-degan di paruh pertama film. If you remember how it felt when watching Final Destination, yang mana justru teror kematian itu sendiri yang paling menyeramkan, di situlah Badoet banyak bermain. Didukung dengan atmosfer rumah susun dan pasar malam, sinematografi, editing, serta tata musik yang semakin meneror penonton, Badoetdengan sangat sukses menghantui penonton secara psikologis. Bahkan bagi saya yang sebenarnya tergolong ‘tahan banting’ ketika menonton film horor, Badoet berhasil membuat saya merinding tidak karuan, sampai-sampai membuat mata saya sedikit berair. Ini sangat jarang terjadi ketika saya menonton film horor. Maka itu artinya Badoet berhasil, dan harus saya akui, ia punya momen-momen paling seram dari semua film horor yang pernah saya tonton, termasuk film-film Hollywood.
Namun bukan berarti Badoet tanpa celah. Tidak, saya tidak akan mengeluh tentang dialog yang memang dibuat se-simple mungkin agar bisa dipahami dan dinikmati seluas-luasnya range penonton. Tapi yang tak bisa dipungkiri adalah setelah membangun misteri dengan sangat kuat, ia seolah kebingungan bagaimana menyajikan penjelasan dan penyelesaiannya. Meski divisualisasikan dengan gore yang masih menarik, revealing moment-nya terkesan ‘gampangan’. Begitu juga dengan penyelesaian yang semakin kehilangan excitement. Untung saja ketika klimaks penyelesaiannya, ada dua adegan yang dibuat intercut, sehingga intensitasnya meski terkesan sedikit menurun, namun tak sampai terjerumus ke jurang enerji terendah. Setidaknya, penonton masih bisa dibuat berdebar-debar dan gregetan. Bahkan saya berpikir, intercut ini sengaja dimasukkan karena menyadari satu adegan resolve maka akan membuat tensinya menurun secara drastis. A good move. Apalagi segera setelah itu, tensi dan nuansa ngeri diangkat lagi di bagian akhir yang sukses membungkus Badoet menjadi tontonan horor yang paling berkesan tahun ini, bahkan in years in term of film Indonesia.
Di jajaran karakter utamanya, sebenarnya tak ada yang benar-benar tampil menonjol (dan tak terlalu perlu juga sebenarnya). Namun setidaknya penampilan kesemuanya tak mengganggu tujuan utama, yaitu menciptakan nuansa horor sengeri dan seseram mungkin. Daniel Topan sendiri masih tak jauh-jauh dari peran tipikalnya, meski kali ini dengan peran utama yang tentu punya porsi jauh lebih banyak. Begitu juga dengan Christopher Nelwan yang tahun lalu kita lihat di Marmut Merah Jambu dan Aurellie Moeremans yang barusan kita lihat di Tarot dan duologi LDR. Yang tampil paling menarik perhatian justru Tiara Westlake sebagai Nikki yang tampil jauh berbeda dibanding peran-perananya di sinetron dan FTV sebelumnya. Ronny P. Tjandra yang kali ini ditunjuk sebagai sosok Sang Badut pun memberikan aura yang mengerikan. Tanpa membaca namanya di credit mungkin saya tak akan menyangkan jika dirinya yang berada di balik make up itu. Terakhir, penampilan Ratu Felisha sebagai ibu Vino, dan Fernandito Raditya sebagai Vino sendiri, juga patut mendapatkan pujian, terutama di adegan klimaks.
Di teknis hampir semuanya berhasil ‘menyumbangkan’ nyawa yang diperlukan pun juga maksimal untuk Badoet. Mulai sinematografi Jimmy Indra yang cukup banyak bermain variasi angle untuk menghadirkan atmosfer horor, desain produksi Ikent Gimbal, terutama untuk setting pasar malam dan kamar si badut, dan make up Aktris Handradjasa yang dengan brilian menghadirkan sosok badut menjadi begitu signatural. Terakhir, tata suara dari Khikmawan Santosa dan musik Ricky Lionardi, semakin menghiasi atmosfer horornya menjadi lebih maksimal, termasuk dalam memanfaatkan fasilitas surround dengan maksimal.
So yes, meski belum sempurna sebagai satu sajian utuh yang bagus, setidaknya Badoet sudah sangat berhasil dalam menghadirkan horor yang menghadirkan atmosfer kengerian sengeri-ngerinya. OTeror yang dihadirkan benar-benar terasa dan dibangun dengan sangat baik. Konsep cerita pun disusun dengan sangat baik tanpa harus dibuat ribet dan kompleks, masih pas dengan penggemar horor Indonesia. Dialog yang terkesan lebih banyak bercanda juga membuatnya terkesan ringan dan menyenangkan untuk ditonton seru-seruan rame-rame. Come on… jujur, tujuan utama Anda nonton horor untuk ‘merasakan’, bukan untuk berpikir keras, bukan? If you think so, yes, Badoet is a horror you really shouldn’t miss in theatres! Jika Anda menyukainya dan want even more, open ending-nya memberikan kesempatan untuk itu. So make it 100.000 audiences minimal, and prepare for more Badoetto come. If you think the verdict I've given is quite weird, saya memang sengaja membuat verdict sedikit lebih tinggi dari 3.5/5. Menurut saya Badoet layak mendapatkan lebih dari 3.5/5 tapi masih belum sempurna untuk mencapai 4/5. So, 3.75/5 mungkin adalah verdict yang paling pas.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
0 Response to "The Jose Flash Review Badoet"