Di tengah carut-marut yang tiada hentinya di Indonesia, kabar baik dari dunia internasional tentang bangsa ini tentu menjadi angin segar tersendiri. “Prestasi” sekecil apapun jadi bahan yang bagus untuk di-blow up dan dijadikan materi “inspirasi” dalam negeri. Mulai trend-lah istilah “anak bangsa” yang jadi sering digunakan sebagai materi jualan. Masyarakat Indonesia yang kebanyakan memang masih inferior bisa saja ikut-ikutan ‘bangga’, tapi terbukti tetap saja belum berhasil jadi label jualan yang efektif, apalagi jika tidak disertai dengan produk akhir yang cukup memuaskan. Film animasi ‘karya anak bangsa’ yang konon mengklaim diri dilirik Disney, Battle of Surabaya, salah satu contohnya. Namun rupanya publisis-publisis film kita masih belum kapok menggunakan formula ini yang digunakan lagi untuk ‘menjual’ ‘film Hollywood pertama karya anak bangsa’, Brush with Danger (BwD). Nama Livi Zheng yang belum pernah dikenal sebelumnya oleh publik Indonesia lantas menjadi selebriti yang di-interview di berbagai talkshow ‘inspiratif’. Belum lagi misleading informasi yang masih sering dilakukan media kita menuliskan bahwa BwD masuk nominasi Oscar. Padahal faktanya, BwD hanya masuk dalam daftar Oscar Eligible Movies. Artinya, setelah didaftarkan, ia memenuhi syarat yang sudah ditetapkan juri, seperti minimal tayang di bioskop komersial selama 7 hari berturut-turut dan berdurasi lebih dari 40 menit. BwD masih harus berkompetisi dengan 322 judul film lain di tiap kategori yang didaftarkan. Melihat hasil akhir yang sudah kita tahu bersama, jelas pemberitaan BwD masuk nominasi Oscar adalah salah. Entah disengaja atau tidak, mengingat rendahnya kontrol editorial media kita dan minimnya wawasan masyarakat Indonesia tentang film. November ini akhirnya publik Indonesia bisa menilai sendiri seperti apa hasil akhir ‘film Hollywood karya anak bangsa’ ini.
Iming-iming American Dream membuat kakak-beradik, Alice dan Ken menjadi imigran gelap lewat kontainer ke Seattle. Setelah mencoba menjadi penjual lukisan Asia di lapak semacam weekend market namun gagal menarik perhatian, Ken mencoba beratraksi seni bela diri dan rupanya berhasil. Sedikit demi sedikit uang pun terkumpul dari aksi street performer ini. Keberuntungan mulai menghampiri setelah mereka menolong seorang nenek-nenek bernama Elizabeth dari perampokan. Untuk membalas budi, Elizabeth memberikan makanan dan tumpangan sambil mempekerjakan mereka di kedai makan miliknya. Muncul pula Justus Sullivan, pemilik galeri lukisan yang tertarik dengan karya Alice dan berniat membantu menjualnya. Justus juga membantu Ken menyalurkan hobinya berbela diri. Baru ketika Justus minta dibuatkan copy lukisan Van Gogh, Alice mulai curiga. Ternyata semua itu ternyata harus dibayar dengan sebuah ancaman bahaya. Apalagi Justus diduga terlibat kematian seorang wanita Asia misterius yang mayatnya ditemukan di tepi sungai.
Plot seperti ini jelas sudah sangat sangat generik. Apalagi dengan berbagai stereotype Asia yang sudah lama melekat di Amerika Serikat, seperti pasti jago bela diri. Termasuk pula jalan cerita cliché menolong orang yang dirampok, balas budi, sampai ‘jebakan-jebakan’ orang kulit putih untuk mereka. Well, kalau mau dibilang rasis, it is, meski konteksnya sebenarnya anti-racist. Kenyataannya, BwD justru mengamini rasisme dan stereotype orang Asia di Amerika Serikat. Sebenarnya ini tak jadi masalah jika setidaknya bisa dikemas lebih menarik. Sayangnya, BwD tidak demikian. Lihat saja adegan Ken dan Alice beratraksi di jalan yang menarik perhatian banyak orang. Sorry to say, jika saya melihat hal yang demikian di jalan, saya bahkan tidak tertarik untuk berhenti dan menyaksikan, apalagi sampai memberi applause. Atraksi yang ditampilkan sangat biasa, bahkan dari sudut pandang penonton terawam sekalipun. So, I guess it’s very delusional jika pengguna-pengguna jalan di Seattle sampai menyoraki penampilan mereka. Tak hanya itu, pertarungan-pertarungan Ken di atas ring pun gagal untuk menarik perhatian saya. Sorry to say, in this attempt, BwD still has to fail.
Sub-plot investigasi pembunuhan sebenarnya bisa menjadikan keseluruhan film lebih menarik jika diangkat menjadi plot utama. Nuansa investigasi bisa jadi ‘kemasan’ yang lebih menjual ketimbang drama mengharu-biru kakak-adik imigran gelap, apalagi pada kenyataannya tak berhasil pula mencapai tujuannya gara-gara terlampau cliché, shallow, dan story telling yang masih jauh dari menarik. Ke-cliché-an berlanjut sampai ending yang membuat American dream jadi semakin cheap. Sorry to say, if you made BwD to inspire people, inspire to what? Untuk jadi imigran gelap dan meraih American Dream dengan begitu instant-nya? Well, I guess formula seperti ini hanya akan berhasil untuk menarik hati penonton di daerah-daerah pelosok yang masih lugu.
Keputusan memasang diri sendiri dan saudaranya sebagai lead juga menjadi tanda tanya besar buat saya. Sorry to say, Ken Zheng jauh dari kata kharismatik untuk menjadi lead character. And look at his eyes… it’s just blank and empty. Livi mungkin sedikit lebih bisa akting, namun masih jauh pula dari kata cukup layak, apalagi untuk ‘kelas’ Hollywood. Untung saja di deretan supporting cast masih lebih baik, setidaknya masih bisa membuat BwD terasa film beneran, bukan film tugas akhir anak kuliahan. Terutama Norma Newkirk sebagai Justus dan Stephanie Hilbert sebagai Elizabeth. Sementara Nikita Breznikov masih terasa kurang kharismatik sebagai detektif Nick Thompson.
Beruntung Livi berhasil menarik kru-kru yang menjadikan karya debutnya punya teknis yang profesional dan setidaknya, layak. Terutama sinematografi Ryan Purcell yang piawai memanfaatkan pencahayaan sehingga menghasilkan gambar yang tajam dan tone menarik. Scoring Garry Schyman masih tergolong generik dan hanya sampai terasa cukup dalam mengiringi adegan-adegannya. Tata suara digarap dengan biasa saja, tak ada yang stand out, termasuk juga pemanfaatan fasilitas surround yang tak begitu terasa.
Tanpa tahu ‘unsur’ Indonesia di dalamnya, mungkin BwD tidak akan dilirik distributor lokal untuk diimpor dan tayang di sini. Well, BwD memang bukan karya yang cukup pantas untuk membuat slogan “film Hollywood pertama karya anak bangsa” jadi membanggakan, namun kegigihan dan kenekadan Livi untuk mewujudkan mimpinya masih patut diapresiasi. Kekurangan masih sangat banyak di sana-sini, terutama sebagai penulis naskah, sutradara, dan… pemilihan cast. Please, please, please… Pilih cast secara profesional dong. It’s Hollywood lho, bukan tugas akhir kuliah. Semoga saja segala materi promosi BwD yang delusional dan terkesan hanya sekedar cari popularitas bukan datang dari Livi Zheng sendiri. Jika tidak, maka ia hanya akan menambah daftar panjang ‘anak bangsa yang delusional di kancah internasional’. Semoga saja tidak.
Lihat data film ini di IMDb.
0 Response to "The Jose Flash Review Brush with Danger"