Selama ini kita mengenal Joel Edgerton sebagai aktor, terutama lewat Warrior, The Great Gatsby, dan Exodus: Gods and Kings. Namun siapa sangka ternyata ia punya talenta lebih di belakang layar, yaitu penulis naskah dan sutradara? Ini adalah suatu kejutan setelah 2013 lalu aktor Wentworth Miller membuktikan diri bisa jadi penulis naskah yang bagus lewat Stoker. Hebatnya, di The Gift, Edgerton merangkap sekaligus sebagai penulis naskah, sutradara, dan salah satu aktor utama. Dengan premise home invasion dengan misteri masa lalu sebagai kunci, The Gift tentu menjadi menarik untuk disimak.
Simon dan pasangannya, Robyn, memulai hidup baru dengan pindah ke suburban California. Simon mendapatkan pekerjaan di sebuah firma sekuritas, sementara Robyn memilih untuk beristirahat setelah mengalami keguguran. Tak disangka, Gordon, seorang kawan lama Simon menyapa. Gordon bersikap manis dengan terus-menerus mengirimkan hadiah ke rumah Simon. Sementara Robyn menyambutnya dengan positif, Simon justru mencium gelagat tidak baik. Pasalnya ada kasus antara Simon dan Gordon di masa kecil mereka yang berdampak besar. Rahasia Simon sedikit demi sedikit terkuak, namun menurut Gordon semuanya sudah terlambat.
Secara garis besar, Edgerton menawarkan sebuah psychological thriller yang menarik untuk dibahas. Tak sekedar home invasion thriller biasa, Edgerton menuliskan naskah yang cukup detail dan rapi untuk The Gift. Alhasil, ia memiliki kedalaman cerita latar belakang dan karakter yang lebih, yang disampaikan per layer. Isu bullying yang diangkat menjadi begitu tought-provoking dengan twist-ending yang sedikit ‘nakal’. Berani, namun mampu secara efektif menggugah sudut pandang serta emosi penonton tentang kasus bullying (dan juga tentang how far you know about your spouse?)
Sayangnya, ada beberapa part yang membuat story telling-nya masih terkesan kaku. Ada pula beberapa part yang tidak begitu relevan dengan plot utama sehingga agak mengganggu nuansa thrill yang sudah dibangun secara perlahan, serta fokus cerita secara keseluruhan. Ada beberapa jumpscare yang benar-benar bikin terhenyak, tetapijika dirasa-rasa lagi secara keseluruhan, ada banyak potensi thrill yang bisa jauh lebih gripping namun terlewatkan begitu saja. Well, mungkin sudah menjadi konsep Edgerton sejak awal untuk penontonnya lebih menggunakan otak ketimbang emosi ketika menyaksikan The Gift. Masih belum sempurna, tapi debutnya ini sudah bisa dikatakan sangat baik dan punya potensi yang besar.
Sebagai aktor utama, Joel Edgerton sukses menjadikan karakternya sangat creepy. Ramah, tenang, namun menyimpan misteri yang bisa saja membahayakan. Di lini berikutnya, Rebecca Hall memainkan peran penggerak emosi penonton yang cukup berhasil mengundang simpati penonton. Sementara Jason Bateman juga tak buruk tapi juga tak istimewa, sebagai karakter yang dibuat berubah dari putih menjadi hitam seiring dengan cerita.
Sinematografi Eduard Grau merekam tiap detail adegan dengan sangat baik sesuai kebutuhan cerita, sekaligus memframing production design Terry Anderson yang modernly beautiful. Tata suara dan musik bekerja cukup efektif untuk membangun nuansa thrill dan jumpscare-nya.
In the end, The Gift hadir sebagai psychological thriller yang tak sekedar mengumbar adegan pemompa adrenaline ataupun kekerasan (bahkan tak ada adegan darah sedikit pun!), namun membangun ketegangan melalui karakter Gordon dan detail adegan. Dengan kedalaman cerita serta karakter yang lebih, juga twist yang cerdas, ia menyampaikan tema anti-bullying dengan sangat efektif. Meski sebagai sebuah thriller, ada banyak potensi yang terasa tidak dimaksimalkan. But hey, it’s a very great debut from Edgerton as a screenwriter and director, anyway. Kudos!
Lihat data film ini di IMDb.
0 Response to "The Jose Flash Review The Gift"