Setiap franchise besar (setidaknya dari segi komersial) selalu punya akhir yang sejatinya memuaskan semua fans setianya. Tak heran jika ada part terakhir dari franchise besar yang sengaja dibagi dua bagian. Idealnya, supaya tiap detail yang ada di source aslinya (dalam banyak kasus, novel) tak terlewatkan dalam versi film. Tentu ini semata-mata tak lepas dari tujuan ingin memuaskan para fanatik yang lebih mengutamakan kepersisan dengan materi asli. Alasan tambahan yang tak kalah penting, terutama dari segi produser, pemasukan yang berlipat. Harry Potter sudah membuktikan formula ini berhasil, karena memang menjalankan kedua fungsi tersebut secara simultan. Twilight Saga juga mengekor formula ini dengan cukup berhasil pula (terutama dari segi komersial) meski tak bisa bohong bahwa Breaking Dawn part 1 terasa tidak berisi, yang untungnya tertolong dengan part 2 yang menghadirkan visualisasi pertarungan akhir yang seru meski tidak nyata. Sekali lagi studio Lionsgate tidak mau melepaskan salah satu franchise pendulang emas terbesarnya, The Hunger Games, berakhir begitu saja. Tak hanya membagi seri terakhir, Mockingjaymenjadi dua bagian, Lionsgate pun berencana untuk membuat whether prekuel atau sekuel dari part terakhir ini. Well, selagi bisa diperah, kenapa tidak bukan? Apalagi studio independent yang tak sering-sering bisa menghasilkan keuntungan besar.
The Hunger Games: Mockingjay Part 1 (THGM1) terasa tidak begitu banyak pergerakan cerita selain memperkenalkan President Alma Coin dari District 13 yang memimpin gerakan pemberontakan terhadap President Snow dan pemerintahan Panem, serta pembuatan video propaganda dengan Katniss Everdeen sebagai simbol perlawanan, maka di part 2 inilah puncak perlawanan pecah dan mengakhiri segalanya. President Alma berhasil mengumpulkan pasukan dari berbagai distrik dan siap melancarkan serangan ke Capitol dan melengserkan President Snow. Bukan perkara mudah karena President Snow sudah mengantisipasi dengan menyebarkan pod jebakan di seluruh penjuru Capitol menuju ke istana President Snow. Belum lagi mereka harus berhadapan dengan para mutt, makhluk mutan ciptaan President Snow. Tak hanya perang yang membuat Katniss harus membuat keputusan-keputusan penting, tapi juga antara kekasihnya sejak lama, Gale, atau pasangan settingan selama di Hunger Games, Peeta, yang menunjukkan kasih sayang lebih selama ini.
Adalah hal biasa jika satu seri dipecah menjadi 2 bagian, maka awal dari bagian ke-2 menjadi jembatan yang mengingatkan penonton dengan apa yang terjadi di part 1. Begitu juga dengan THGM2 yang 20 menit awalnya berusaha me-refresh ingatan penonton, terutama tentang hubungan antara Katniss dan Peeta yang tak jelas. Karakter Katniss yang menjadi sentral pun diberi pilihan dilematis yang akhirnya membawa kita ke momen-momen seru dan menegangkan, yaitu ketika pasukan pemberontak mulai masuk ke Capitol. Mulai menghindarkan diri dari jebakan pod yang breathtaking, kejar-kejaran dengan genangan minyak, sampai serangan mutt. Sedikit mengingatkan saya akan The Maze Runner: Scorch Trials belum lama ini, namun dengan visualisasi dan rangkaian adegan yang jauh lebih seru dan menghibur.
Sayangnya rangkaian adegan seru tersebut adalah all that you can get from this installment. THGM2 memilih visualisasi yang lebih “adem ayem” untuk menutup keseluruhan ceritanya. Sebenarnya tak ada yang salah, mengingat secara keseluruhan di balik adegan-adegan laga, THG punya plot politik dan sosial yang kental. Maka sebuah ending yang membuat saya bergumam “ya begitulah politik” ketika menghadirkan twist-nya. It’s a good conclusion dimana Katniss dibuat punya pilihan keputusan sendiri yang menurutnya bisa membawa masa depan lebih baik untuk Panem ketimbang kemungkinan bakal jatuh ke lubang yang lain lagi yang mungkin malah lebih dalam dan lebih gelap. Who knows. Namun yang patut disayangkan adalah, after all of what happened all this time, sebuah klimaks yang visualisasinya ‘begitu saja’ jelas membuatnya terasa semacam antiklimaks. Not bad, even very realistic, but can’t lie that it’s such an anticlimax feel. Tak lupa THGM2 juga menutup dengan konklusi dari sudut pandang personal Katniss sendiri, yang mungkin tidak dipedulikan oleh sebagian penonton, namun sebenarnya sebuah konsistensi dari sudut pandang penceritaan dan perkembangan karakter Katniss selama ini.
Setelah semua yang dialami oleh Katniss dan kebingungan di THGM1, Jennifer Lawrence diberi cukup banyak kesempatan di sini untuk menunjukkan tiap detail emosi dan dilematis yang dialami karakternya. Dengan kualitasnya selama ini, Lawrence jelas memberikan performa yang terbaik di sini. Sementara aktor-aktris pengisi karakter-karakter lain masih tampil stabil dari sebelum-sebelumnya, mulai Josh Hutcherson sebagai Peeta, Woody Harrelson sebagai Haymitch, Donald Sutherland sebagai President Snow, Julianne Moore sebagai President Alma, Sam Claflin sebagai Finnick Odair, sampai Liam Hemsworth yang tetap saja gagal mencuri simpati penonton untuk bersanding bersama Katniss gara-gara performanya yang masih saja datar.
Terakhir, tentu saja performa terakhir dari Alm. Philip Seymour Hoffman menjadi fokus tersendiri. I know we’re gonna miss his performance after this.
Dari jajaran teknis, saya mencatat desain produksi Philip Messina yang luar biasa, mulai dari tiap sudut Capitol yang meski terkesan hancur namun masih tetap terlihat nuansa sophisticated dan stylish-nya, sampai butik milik Tigres yang mengingatkan kita akan betapa fashionable-nya franchise ini di installment-installment awal. Impressive! Adegan-adegan menegangkannya didukung oleh visual effect dan sinematografi Jo Willems yang berhasil memframing tiap adegan sesuai kebutuhan. Tiap adegan terasa begitu megah apalagi di layar IMAX, meski tanpa efek 3D yang terasa begitu signifikan, baik dalam bentuk depth apalagi gimmick pop-out. Sementara scoring dari James Newton Howard mencapai titik emosi puncaknya di sini.
Setelah menyaksikan THGM part 1 dan part 2, sebenarnya sangat terasa bahwa pemecahan seri terakhir menjadi 2 bagian ini sangat mubazir. Part 1 jadi terasa hanya sekedar intro dari sebuah kejadian-kejadian massive, sementara part 2 seperti kehabisan excitement-nya meski sudah didukung dengan momen-momen aksi yang breathtaking. Apalagi dengan klimaks yang terkesan antiklimaks seperti ini, part 2 terasa sedikit lebih baik daripada part 1. Sebagai sajian yang punya momen-momen seru dan konklusi yang secara konsep bagus, saya masih bisa menikmati THGM2, namun saya juga tak bisa bohong bahwa energi THGM2 tak sekuat The Hunger Games atau The Hunger Games: Catching Fire. Tentu saja bagi yang sudah mengikuti franchise ini sejak awal atau bahkan menjadi fans beratnya, THGM2 sayang untuk dilewatkan.
Lihat data film ini di IMDb.
0 Response to "The Jose Flash Review The Hunger Games: Mockingjay Part 2"