Nama Ivander Tedjasukmana mungkin masih tak begitu familiar di telinga penikmat film Indonesia. Padahal kiprahnya di dunia film sudah dimulai sejak menjadi asisten Monty Tiwa di Pocong 3. Kemudian ia dipercaya untuk menyutradarai XXL: Double Extra Largedan akhirnya mendampingi Tiwa di film horor yang sempat fenomenal, Keramat. Sempat menulis naskah Romantini yang masih disutradarai Tiwa, dan terakhir tahun 2014 lalu menyutradarai Kota Tua Jakarta. Akhir tahun 2014 lalu Ivander juga menulis serta menyutradarai sendiri sebuah film horor yang diberi judul Kakakdi bawah Firefly Cinema. Untuk penulisan naskahnya, Ivander dibantu oleh Almarhum Kim Kematt (Noble Hearts: Mentari di Ufuk Timur dan Bara di Negeri Hujan) yang baru 1 November 2015 lalu meninggal dunia karena kanker. Kakak menjadi kenang-kenangan terakhir Kim, sekaligus menandai film terakhir Laudya Cynthia Bella sebelum memutuskan untuk berhijab awal tahun 2015 ini.
Adi dan Kirana adalah pasangan muda yang masih belum dikaruniai anak. Gara-gara mengidap asthma, Kirana harus tiga kali keguguran. Khawatir dengan kondisi istrinya, Adi memutuskan untuk membeli sebuah rumah untuk tinggal sendiri, terpisah dari sang Ibu, Aida. Meski awalnya tidak terlalu memberikan pengaruh terhadap Kirana, perlahan Kirana menjadi lebih ceria dan rumah tangga Adi-Kirana pun perlahan kembali menghangat. Usut punya usut ternyata keceriaan Kirana berasal dari sesosok makhluk halus yang dipanggil dengan sebutan ‘kakak’. Meski sempat khawatir, setelah melihat istrinya berubah menjadi lebih baik, Adi memilih untuk membiarkan Kirana dan Kakak berhubungan. Sampai saat Kirana hamil lagi dan Kakak mulai menunjukkan gelagat tidak baik, Adi meminta Kirana untuk memilih: anak yang ada di dalam kandungannya atau Kakak.
Melihat dari ceritanya, Kakak jelas menggunakan pendekatan drama untuk diramu dengan bumbu horor-nya, terutama drama rumah tangga. Tak ada masalah sebenarnya, mengingat drama seperti ini bisa menjadi drive cerita yang menarik dan bagus. Sebagai adegan pembuka, sebuah kilasan kejadian masa lalu yang menceritakan sedikit asal mula karakter Kakak, terasa terlalu berlebihan. Satu kejadian yang melibatkan 5 orang yang saling menyalahkan lalu kemudian sama-sama menyalahkan diri sendiri dan penuh tangis. Penuh dialog-dialog cheesy dan drama banget. Dari sini sebenarnya sudah jelas bahwa latar belakang karakter Kakak bukan menjadi hal yang dipasang untuk membuat penonton penasaran hingga akhir film.
Kemudian ketika masuk ke cerita tentang Adi dan Kirana, barulah sedikit demi sedikit teror dimasukkan sambil membangun hubungan antara keduanya. Pada titik ini sebenarnya cerita tak bergerak terlalu banyak, namun satu per satu adegan teror (yang sebenarnya juga lebih ke komedi ketimbang horor) cukup membuat penonton terhibur. Masih menggunakan formula jumpscare untuk tetap mengesankan horor, namun secara psikologis masih jauh dari kesan horor. Menurut saya, ini karena sosok Kakak digambarkan tidak mengancam meski beberapa kali melakukan penampakan ala Sadako. Barulah ketika Kakak ‘unjuk gigi’ menyerang beberapa karakter, sedikit rasa khawatir muncul pada benak penonton. Itu pun juga tak terasa begitu maksimal karena atmosfernya yang memang kurang mendukung suasana seram. Namun kelemahan terbesar Kakak terletak pada sosok makhluk halus yang tidak cukup ‘hidup’ untuk bisa dikenal dan dirasakan penonton, selain sekedar efek-efek teknis seperti pergerakan benda secara ajaib.
Penampilan Laudya Cynthia Bella menjadi highlight yang paling menonjol dari Kakak. Tak hanya karena porsinya yang mendominasi, namun juga karakter Kirana, seorang istri yang stress karena kerap keguguran, berhasil dihidupkan dengan sangat baik oleh Bella. Kalau mau mengamati karir akting Bella, bisa dibilang ini adalah salah satu atau malah penampilan terbaiknya. Rollercoaster emosinya, mulai stress, ceria, bahagia, gundah, dan takut, terasa begitu natural namun tetap terasa maksimal. Surya Saputra sebagai sang suami tak buruk namun memang tak ada yang istimewa juga. Beberapa kali justru terasa sangat Surya Saputra sehari-hari yang kita kenal, sehingga terkesan tampil lepas. Untungnya chemistry yang dibangunnya bersama Bella termasuk convincing. Highlight berikutnya adalah pemeran Kakak, Yafi Tesa Zahara, yang aktingnya tak terlalu banyak terlihat maupun terasa gara-gara riasan dan pose hantu yang harus menyertainya sepanjang durasi.
Tidak ada yang istimewa dengan sinematografi, selain lebih dari cukup untuk menyampaikan ceritanya. Begitu juga editing yang tergolong pas, terutama dalam menghadirkan momen-momen horornya. Sayangnya desain produksi yang lebih pas untuk genre drama di sini masih terasa sangat kurang untuk mendukung nuansa-nuansa creepy maupun eerie. Saya membayangkan ada cukup banyak adegan horor yang seharusnya bisa lebih maksimal jika didukung desain produksi yang lebih bold. Untuk tata suara dan scoring memang tak ada yang istimewa dan kadang terdengar terlalu gaduh (terutama untuk adegan-adegan jumpscare-nya), namun atas nama memberikan nuansa horor, masih sah lah.
Pada akhirnya, Kakak menjadi horor yang terasa tanggung, namun menjadi sedikit lebih menarik berkat dukungan cerita yang digarap dan dikembangkan dengan cukup layak. Kalau kangen dengan film horor Indonesia yang digarap baik dan ingin melihat Bella tanpa hijab untuk terakhir kalinya, Kakak bisa jadi pilihan tontonan.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
0 Response to "The Jose Flash Review Kakak"