Di Indonesia mungkin tak banyak yang akrab dengan dongeng dari novella The Little Prince (TLP) atau judul aslinya Le Petit Prince karya Antoine de Saint-Exupéry yang pertama kali dipublikasikan tahun 1943. Meski bercerita tentang seorang pangeran cilik dan punya gaya ilustrasi yang kanak-kanak, TLP sebenarnya sebuah alegori orang-orang dewasa dari sudut pandang anak-anak. Tentu materi seperti ini susah untuk dinikmati, apalagi dipahami, oleh anak-anak. Namun statusnya yang tergolong klasik, terutama di negara asalnya, Perancis, maka keputusan untuk mengadaptasinya menjadi sebuah film animasi bisa jadi tergolong mudah. Yang jadi masalah, bagaimana caranya mempenetrasi pasar umum seluas-luasnya dengan materi cerita yang masih tergolong segmented, begitu juga dengan gaya penceritaan ala sinema Perancis yang pada satu titik juga belum bisa dipahami dan dinikmati secara luas. Maka PR Irena Brignull dan Bob Persichetti sebagai penulis naskah, serta Mark Osborne sebagai sutradara, tidaklah mudah, meskipun masing-masing punya track record yang cukup di animasi. Brignull lewat Boxtrolls yang masuk bursa Oscar tahun lalu, Persichetti di berbagai film animasi Disney dan DreamWorks sejak jaman The Hunchback of Notre Dame, Hercules, Mulan, Tarzan, hingga Shrek 2, Monsters vs Aliens, dan Puss in Boots. Sementara Mark Osborne pernah ditunjuk sebagai sutradara bersama John Stevenson untuk mega box-office DreamWorks, Kung Fu Panda. Maka TLP terasa seperti berada pada tangan yang tepat.
Seorang single mom memutuskan untuk memperlakukan putri tunggalnya dengan disiplin keras. Tiap menit dari hidupnya sudah terjadwal dan terencana secara rapi hingga bertahun-tahun ke depan. Apalagi dalam waktu dekat bakal ada tes masuk ke sekolah bergengsi, Werth Academie. Si putri tunggal menurut saja kepada sang ibu. Namun ketika bertemu tetangga baru mereka yang ternyata seorang kakek nyentrik, Si Putri Cilik mulai berubah. Si Kakek menceritakan pengalamannya bersama Pangeran Cilik ketika mereka bertemu di Gurun Sahara. Cerita Si Kakek menginspirasi Si Putri Cilik untuk menemukan kebahagiaannya sendiri dan melanggar jadwal-jadwal ketat Sang Ibu. Hingga pada satu titik, ketika Si Kakek jatuh sakit, Si Putri Cilik bersikeras untuk menemukan Si Pangeran Cilik.
Tak sepenuhnya mengadaptasi mentah-mentah dari versi novella, TLP memilih untuk menyandingkannya dengan kisah Si Putri Cilik dan Sang Ibu sebagai perbandingan sosial di dunia modern. Memang keduanya sejalan dan saling terkoneksi, bahkan mungkin dengan harapan penonton bisa lebih mudah memahami esensi cerita TLP. Namun bukan berarti penceritaan seperti ini membuatnya jadi lebih mudah untuk dicerna. Di babak pertama ketika cerita Si Putri Cilik dan Si Pangeran Cilik berjalan beriringan secara bergantian, penonton biasa mungkin akan dibuat bingung untuk mengikuti keduanya sekaligus. Namun jika mampu memahaminya, seharusnya kedua cerita ini bisa terkoneksi dengan baik, meski lewat pace cerita yang tergolong lebih lambat ketimbang pace film animasi Hollywood yang serba dinamis. Biasa, ala-ala film Perancis.
Ketika memasuki babak berikutnya, yaitu setelah 1 jam pertama, penonton dibawa ke cerita Si Putri Cilik bertualang mencari Si Pangeran Cilik yang sebenarnya. Di titik ini, fantasi dan kenyataan yang diceritakan terpisah di awal, mulai membaur menjadi satu. Sayangnya, pembauran ini terasa aneh karena batas yang semakin blur antara fantasi dan kenyataan. Too fantastic to be true sekaligus too realistic to be just a fantasy. Penonton yang di paruh pertama sudah bingung, bakal dibuat semakin bingung di titik ini. Sementara penonton yang tadinya sudah paham dengan alegori cerita, tidak menemukan banyak hal yang membuat penasaran apa yang akan terjadi selanjutnya, karena memang tidak jelas apa yang ingin dituju atau dimau Si Putri Cilik. Satu pertanyaan yang mungkin bakal terjawab di akhir, apa yang dicari Si Putri Cilik, konklusi apa yang ingin disampaikan oleh pertemuan karakter-karakter ini. Well, meski secara cerita mungkin akan membingungkan, setidaknya TLP cukup konsisten dan bold dalam menghadirkan emosi-emosi dari beberapa adegan-adegan pentingnya. Tak perlu memahami secara keseluruhan untuk bisa merasakan emosi-emosi dari kejadian kecil yang sifatnya universal. Soal esensi, penonton mungkin bisa merefleksikan dan menemukannya kelak, termasuk bagi anak-anak yang masih jauh untuk bisa memahami ceritanya.
Meski tergolong produksi Perancis, nyatanya versi asli TLP justru yang berbahasa Inggris, baru di-dub versi Bahasa Perancis. Segudang aktor-aktris berkelas digandeng untuk menghidupkan ceritanya. Meski tak ada yang benar-benar terasa outstanding dan remarkable, namun kesemuanya sudah termasuk mampu menghidupkan karakter masing-masing dengan maksimal. Mulai Jeff Bridges sebagai Si Kakek, Rachel McAdams sebagai Sang Ibu, James Franco sebagai Si Rubah, Marion Cotillard sebagai Sang Mawar, Benicio del Toro sebagai Sang Ular, dan Paul Rudd sebagai Mr. Prince. Namun yang paling utama adalah Mackenzie Foy, pengisi suara karakter utama, Si Putri Cilik, yang sebelumnya kita kenal sebagai Renesmee Cullen, Cindy di The Conjuring, dan Murphy ketika berusia 10 tahun di Interstellar. Ini pun bukan pengalaman pertamanya mengisi suara untuk film animasi, setelah sebelumnya terlibat di versi Bahasa Inggris dari produksi animasi Perancis yang masuk bursa Oscar tahun 2013 lalu, Ernest & Celestine.
Tak ada yang terlalu istimewa di teknis, termasuk animasi yang tidak menampilkan sesuatu yang baru. Beberapa set terlihat begitu indah, termasuk penceritaan kisah asli Si Pangeran Kecil yang menggunakan teknik ala stop-motion. Kekuatan terbesar justru ada di score yang digarap oleh komposer sebesar Hans Zimmer. Dibantu Richard Harvey dan artis Perancis, Camille, score TLP terasa semegah film-film Hollywood dengan bumbu traditional French folk yang signatural dan cozy. Meski tak selalu dihadirkan mengiringi tiap adegan (yang justru lebih banyak mengandalkan silent moment), namun score Zimmer jelas terasa yang paling kuat sepanjang durasi, termasuk dalam menggiring emosi penonton menjadi lebih dalam. Sementara tata suara tak menemui kendala berarti, tapi juga tak ada yang terlalu istimewa pula. Efek surround hanya beberapa kali dimanfaatkan pada detail-detail minor yang mungkin terlewatkan oleh penonton umum. But overall, still no complaint at all.
TLP memang masih berusaha menyampaikan esensi-esensi novella aslinya, seperti sindiran-sindiran terhadap sifat orang dewasa lewat kacamata anak-anak. Yang mana banyak orang dewasa lupa bagaimana cara melihat keindahan ketika terlalu dibuat sibuk mencari uang dan menjadi seperti robot. Juga pengingat tentang persahabatan, relationship, dan kehilangan dengan analogi yang sederhana. Bagi penonton dewasa yang pernah merasakan kesemuanya, mungkin TLP bisa menjadi pengingat dengan pola pikir anak-anak yang justru lebih murni. Tak heran jika penonton dewasa bisa sampai berkaca-kaca ketika menonton film ini. It’s all about self-related with each audience. So, terlepas dengan apa kata orang, tak ada salahnya Anda mencoba menontonnya sendiri. Siapa tahu Anda termasuk yang bisa memahami, bahkan mungkin relate dengan semua yang terjadi dalam film. Jika Anda termasuk yang demikian, TLP bakal menjadi karya yang begitu mengesankan.
Lihat data film ini di IMDb.
0 Response to "The Jose Flash Review The Little Prince (Le Petit Prince)"