Tahun 2010 dunia dikejutkan oleh sebuah kecelakaan dimana 33 orang terperangkap sedalam 2.300 feet atau 700 meter di sebuah pertambangan emas berusia ratusan tahun di Copiapó, Chili. Seperti biasa, kejadian bencana dengan sentuhan kemanusiaan yang selalu berhasil menyentil emosional manusia, jadi materi yang potensial diangkat ke materi lain, seperti buku dan film. Tak heran jika ke-33 penyintas ini sudah punya angan-angan mengangkat kisah mereka ke dalam sebuah buku bahkan ketika masih terperangkap. Dengan kerjasama yang berjalan cukup mulus dan bersinergi dengan pihak penyintas, proyek film bertajuk The 33 ini bisa diwujudkan dengan lancar pula. Bahkan kabarnya ia menjadi film pertama yang mendapat insentif dari komisi perfilman Kolombia. Naskahnya diadaptasi oleh kerjasama penulis naskah yang cukup berpengalaman dengan portfolio yang cukup baik, yaitu Jose Rivera, Mikko Alanne, Craig Borten, dan Michael Thomas, serta di bangku sutradara ditunjuk sineas wanita dari Meksiko, Patricia Riggen yang dikenal lewat Under the Same Moon.
The 33 membidik kisah para penyintas lewat beberapa karakter sentral. Mario Sepúlveda, yang memimpin rombongan penambang karena kebijaksanaan dan pengalaman mumpuni di pertambangan emas San José. Álex Vega yang sedang menantikan kelahiran anak pertamanya. Don Lucho yang paham seluk-beluk pertambangan San José. Carlos Mamani, penambang asal Bolivia yang baru bekerja dan menjadi sasaran bully pekerja lainnya. Yonni dengan ‘drama’ kehidupannya karena punya dua istri. Tak hanya penyintas, tapi The 33juga menampilkan sosok-sosok di belakang misi penyelamatan, terutama Laurence Golborne, menteri pertambangan Chili yang berada di antara dua agenda: murni ingin menyelamatkan para penyintas sekaligus mencari atensi sekaligus simpati, tak hanya dari rakyat Chili, tapi juga di mata internasional. Dengan latar belakang dan perkembangan karkakter masing-masing, bersatu demi misi utama yang paling penting: penyelamatan dari perangkap sedalam 700 meter di bawah tanah, yang ternyata memakan waktu total 69 hari.
Sama seperti kebanyakan kisah disaster, survival, dan kemanusiaan, kisah The 33 dibangun dengan treatment yang tergolong generik. Memang jumlah penyintas yang sebanyak 33 orang tak mungkin mendapatkan porsi yang sama. Apalagi diakui bahwa banyak aspek-aspek dalam cerita yang difiksikan dari kejadian aslinya. Tentu saja dengan persetujuan (atau malah inisiatif) para penyintas demi membumbui alur utama jadi lebih menarik. Untungnya naskah memilih karakter-karakter sentral yang cukup menarik untuk diangkat. Tak perlu perkembangan yang terlalu signifikan dan kalau mau jujur, sangat generik serta tipikal. Namun itu semua lebih dari cukup untuk sekedar mengundang simpati penonton. Tak ketinggalan pula sisi humor yang diselipkan secukupnya agar nuansa tidak kelewat depresif, namun tetap mempertahankan keseriusan ceritanya.
Keberhasilan yang setidaknya masih patut diapresiasi dari The 33adalah kemampuannya membuat penonton merasakan suasana hangat dari kebersamaan 33 orang penyintas, terutama dari beberapa tokoh sentral. Ups and downs, antara desperasi dan harapan, dapat dengan mudah saya rasakan, bahkan berkali-kali membuat saya tersenyum bahagia, meski kalau mau dipikir-pikir lagi, tak terlalu mendalam pula.
Salah satu faktor keberhasilan itu adalah penampilan para aktor yang memerankan karakter-karakter simpatiknya dengan meyakinkan. Mulai dari Antonio Banderas seabagai Mario yang memang punya kharisma paling kuat sebagai pemimpin, Rodrigo Santoro sebagai Laurence Golborne yang meski punya dua sisi bertentangan, tetap berhasil menarik simpati penonton, sampai Mario Casas sebagai Álex Vega yang memang punya fisik paling menarik dari seluruh jajaran cast-nya. Sementara Juliette Binoche dan Lou Diamond Phillips yang paling populer (selain Banderas, tentu saja) memang tidak diberikan porsi yang begitu banyak, tapi mampu mencuri perhatian karena star-factor-nya.
Secara garis besar, teknis The 33 lebih dari cukup untuk menghidupkan segala nuansa yang hendak dimunculkan. Mulai sinematografi Checco Varese yang cukup baik dalam bercerita maupun menampilkan emosi cerita, tata suara yang mumpuni (dengarkan saja detail suara reruntuhan tanah pada kanal-kanal rear yang begitu nyata), sampai score James Horner yang meski tak terlalu hummable tapi berhasil menghantarkan segala emosinya dengan cukup maksimal. Apalagi score The 33 ini menandai salah satu dari dua score terakhir yang ia selesaikan sebelum meninggal dunia pada 22 Juni 2015 lalu (score terakhirnya adalah untuk film Southpaw). Yang mengganjal bagi saya mungkin hanya detail make up yang membuat penampilan para karakter utamanya tak berubah begitu drastis setelah terkurung selama 2 bulan lebih. Terutama potongan rambut, kumis, serta jenggot yang biasanya menjadi penanda waktu dalam film sejenis.
The 33 memang menggunakan semua formula generik di genrenya, namun terbukti segala upayanya itu masih berhasil mengundang simpati penonton. Bahkan tak sedikit penonton yang mampu dibuat menangis bahagia olehnya. Jadi jika Anda memang menggemari cerita kemanusiaan lewat perjuangan survival dari sebuah bencana, The 33 bisa jadi pilihan yang sayang untuk dilewatkan.
Lihat data film ini di IMDb.
0 Response to "The Jose Flash Review The 33"