Cerita kemanusiaan tentang penyelamatan warga sipil di tengah berkecamuknya perang atau kerusuhan selalu menjadi subjek film yang menarik. Sampai sekarang yang paling saya ingat adalah The Schindler’s List karya Steven Spielberg dan Argo karya Ben Affleck. Keduanya sukses diganjar penghargaan di mana-mana dan ceritanya juga mampu menarik simpati penonton. Tak kalah, tanah Hindustan juga punya kisah nyata serupa dimana sebanyak 170.000 warga India dievakuasi dari Kuwait dengan menggunakan pesawat terbang setelah melewati berbagai perjuangan yang mengancam nyawa. Awal tahun 2016 ini, kisah penyelamatan tersebut diangkat ke layar lebar oleh Raja Krishna Menon (Barah Aanadan proyek selanjutnya, remake versi Hindi dari Chef-nya Jon Favreu) dengan bintang utama Akshay Kumar dan Nimrat Kaur. Siapa sangka, film bertajuk Airliftini ternyata sukses secara komersial sekaligus dipuji oleh banyak pihak.
Cerita dimulai ketika seorang pengusaha Hindi bernama Ranjit Katiyal yang sukses di Kuwait. Saking suksesnya, ia seringkali merasa menjadi orang Kuwait yang lebih modern ketimbang tanah leluhurnya. Kedigdayaannya diuji ketika tahun 1990, Kuwait diserang oleh Irak. Awalnya, Ranjit mengira ketegangan politik ini hanya berlangsung sementara, sehingga ia dengan entengnya menyuruh istrinya, Amrita, dan putri tunggalnya, Simu, mengungsi sementara ke London. Ketegangan semakin menjadi ketika pasukan Irak benar-benar menginvasi Kuwait dan membunuhi tiap warga yang lewat. Satu-satunya jalan adalah mengungsi ke kedutaan India. Rupanya keputusan ini pun tak memberikan banyak kelegaan karena di sana juga sudah mengungsi 500 orang keluarga dan kerabat staf kedutaan. Mereka semua terjebak di gedung itu jika mau selamat. Mereka juga tak bisa mengungsi ke negara lain karena tiap perbatasan dan bandara dijaga dengan sangat ketat.
Tak mau tinggal diam, Ranjit mengupayakan berbagai cara untuk membawa orang-orang India ini pulang ke negaranya. Mulai dari bantuan dari departemen luar negeri India sampai jalan ‘bawah tanah’ lewat kapal sampah. Jumlah pengungsi yang awalnya ratusan pun membengkak menjadi 170.000 orang. Resikonya tak main-main. Nyawa ribuan orang India menjadi taruhannya.
Di genre seperti ini, penentu keberhasilannya adalah bagaimana ia bisa menyentuh sisi-sisi emosional penonton. Misalnya ketegangan maksimal seperti yang pernah ditunjukkan oleh No Escape atau momen-momen kemanusiaan yang menyentuh seperti di Schindler’s List. Di menit-menit awal, Airliftmencoba menampilkan keduanya tapi masih belum berhasil menimbulkan efek emosi bagi saya. Seiring dengan berjalannya alur, akhirnya Airlift menampilkan beberapa aspek yang menarik dan berhasil mengusik emosi sekaligus nalar saya. Pertama, perubahan karakter Ranjit sendiri yang awalnya tidak peduli sama sekali dengan orang lain menjadi sosok yang mengupayakan penyelamatan semua orang. Perubahan karakter yang kontras dengan sang istri yang awalnya justru sebaliknya, tapi kini turut mendukung sang suami. Kedua, seorang bapak tua, salah satu karakter pengungsi, digambarkan selalu mengeluh dengan yang dialaminya, tanpa mau memahami upaya dan resiko yang telah dilakukan Ranjit. Ia merasa Ranjit mempermainkan dirinya dan pengungsi yang lain. Momen dimana Amrita membela suaminya dengan rasional di hadapan si bapak, menjadi momen paling favorit saya. Tak hanya berhasil membangkitkan simpati saya kepada karakter-karakternya, tapi juga menyentil sisi-sisi ego manusia yang kerap muncul di saat-saat genting seperti di film.
Tak perlu meragukan kharisma Akshay Kumar sebagai lead yang sudah kerap kali dibuktikannya. Di Airlift pun ia memberikan performa maksimal pada karakternya yang punya perkembangan serta eksplorasi emosi paling menarik untuk disimak. Ia berhasil menghidupkan kesemua tugas ini dengan sangat baik dan jelas terasa. Tak terkecuali chemistry dengan Nimrat Kaur yang mungkin tak membuat mereka jadi pasangan yang selalu manis, tapi setidaknya ada beberapa momen penting bagi keduanya yang menunjukkan kekuatan hubungan yang luar biasa.
Untuk visualisasi, Airlift menghadirkan kualitas visual effect yang cukup, misalnya untuk adegan ledakan. Tak terlalu terlihat fantastis, tapi sudah lebih dari cukup. Sinematografi dan desain produksi pun patut mendapatkan kredit tersendiri dalam menghidupkan berbagai nuansa yang ditampilkan. Sayangnya, entah asli dari masteringnya atau kondisi sound system di auditorium tempat saya menonton, tata suara Airliftterdengar di bawah rata-rata. Bisa jadi berbagai adegan emosional di awal-awal film gagal ‘mengusik’ saya gara-gara tata suara yang terdengar kurang powerful dan jernih. Sound effect dan scoring terdengar tenggelam dan pecah di banyak bagian. Besar kemungkinan faktor mastering aslinya, karena saya tidak menemui kualitas demikian di ruang auditorium yang sama untuk film berbeda.
In the end, Airlift mungkin tidak secara konsisten sempanjang film mampu menggugah emosi saya. Namun ia punya momen-momen penting yang menampilkan berbagai aspek menarik dari kejadian, yang pada akhirnya berhasil mengusik nalar dan emosi saya sekaligus. So yes, Airliftmenghadirkan treatment yang lebih dari sekedar layak untuk peristiwa evakuasi bersejarah yang sampai memecahkan rekor menerbangkan 170.000 orang pengungsi dengan 488 penerbangan. Sayang untuk dilewatkan begitu saja.
Lihat data film ini di IMDb.
0 Response to "The Jose Flash Review Airlift"