Di scene komedi Amerika Serikat era 2000-an, ada beberapa nama yang benar-benar menjadi ikon. Tak hanya fans, mereka juga punya haters tersendiri. Ya, namanya juga komedi, jelas punya pasar dengan seleranya sendiri-sendiri yang tidak mungkin juga bakal selalu saling cocok. Performa mereka di film pun hit and miss. Tapi yang pasti mereka sudah punya fanbase sendiri yang selalu menantikan tiap film yang diproduksi, bahkan punya circle yang jadi langganan di tiap film. Misalnya Adam Sandler dengan circle-nya antara lain Rob Schneider, Judd Apatow dengan circle seperti Seth Rogen, James Franco, Jonah Hill, dan Jason Segel. Nama yang juga tak boleh dilupakan adalah Will Ferrell dan sutradara/penulis naskah/produser langganannya: Adam McKay. Keduanya sudah terbukti sukses mencetak hit macam Anchorman, Talladega Nights, Step Brothers, dan The Other Guys. Jebolan Saturday Night Lives ini punya guyonan-guyonan khas yang dicintai fansnya, antara lain mengolok-olok (bahkan tak jarang juga menyiksa) diri, gesture yang mengundang gelak tawa, guyonan-guyonan kasar dan menjurus seksual, serta gimmick-gimmick lain yang mungkin lebih bisa dinikmati langsung daripada dijelaskan. Sekali lagi Will Ferrell-Adam McKay mencoba berkolaborasi meski kali ini McKay hanya duduk di bangku produser, sementara penulisan naskah dipercayakan kepada Brian Burns (You Stupid Man), John Morris (Hot Tub Time Machine, Sex Drive, We’re the Millers, dan Horrible Bosses 2), dan Sean Anders (Horrible Bosses 2, That’s My Boy) yang juga merangkap sutradara. Jajaran nama ini jelas patut diperhitungkan di scene komedi. Yang sedikit unik, proyek bertitel Daddy’s Home (DH) ini menargetkan keluarga, sehingga mau tidak mau guyonannya disesuaikan (baca: dipersopan). Dengan portofilio selama ini yang penuh humor kasar dan jorok untuk memancing tawa penonton, ini adalah sebuah tantangan tersendiri.
Tidak ada yang lebih penting di dunia ini bagi Brad Whitaker selain Dylan dan Megan, dua anak istrinya, Sara, menganggap dirinya seorang ‘dad’ (ia bahkan membedakan istilah ‘father’ dan ‘dad’). Apapun ia lakukan untuk menjadi seorang ‘dad’ yang baik, mulai aktif di kegiatan sekolah sampai meladeni segala kebutuhan mereka. Namun ternyata itu bukanlah upaya yang mudah. Ketika Dylan dan Megan mulai membuka diri, muncul Dusty, ayah biologis mereka yang tiba-tiba masuk ke kehidupan rumah tangga mereka. Kontras dengan Brad, Dusty adalah tipikal pria free spirit yang doyan bertualang, punya hobi-hobi macho seperti naik moge, dan hal-hal gahar lainnya. Brad mungkin tidak takut Sara akan kembali ke pelukan Dusty karena tau betul kenapa Sara akhirnya memilih Brad ketimbang Dusty, tapi kedua anaknya yang mudah dipengaruhi ini yang ia khawatirkan. Kompetisi antara keduanya menjadi seorang ‘dad’ semakin seru dan memanas hingga mempertaruhkan keutuhan keluarga mereka.
Ada satu aspek yang menarik untuk dibahas tentang DH dan fenomena keluarga tiri. Sementara kita yang menganut budaya Timur lebih sering diberi gambaran keluarga bahagia adalah yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak, film-film Hollywood justru memberikan gambaran ‘keluarga alternatif’ yang mungkin tidak terkesan sempurna menurut norma masyarakat umum, namun seolah memberikan ‘harapan’ bahwa keluarga yang tidak sempurna pun bisa bahagia. Bagi kita yang di budaya Timur, mungkin ini terkesan seperti melegitimasi perceraian dan membuat seolah-olah biasa. Namun jika kita memprioritaskan perkembangan psikologis anak-anak ke depannya, gambaran-gambaran ini justru lebih positif ketimbang gambaran keluarga sempurna yang justru mendeskritkan bahkan mungkin menimbulkan perilaku bully terhadap anak-anak dengan keluarga tidak sempurna. DH menunjukkan gambaran ekstrim yang mungkin sulit diterima kita yang menganut budaya Timur. Bahkan seringnya kita di-‘doktrin’ bahwa ayah atau ibu tiri adalah pihak yang pasti jahat. Saya salut dengan keberaniannya yang mengajak untuk mengedepankan logika, pemikiran dewasa, dan dampak psikologis anak-anak ketimbang sekedar emosi dan nama baik keluarga. Toh divorce is unavoidable in some marriage, bahkan di budaya Timur pada jaman agama-agama pertama kali disebarkan sekalipun.
Kembali ke film DH, ini bukan kali pertama Will Farrell beradu akting di komedi bersama Mark Wahlberg karena sebelumnya sudah pernah head-to-head di The Other Guys. Jadi wajar jika chemistry persaingan antara keduanya begitu luwes dalam mengocok perut penonton. Karakter Dusty yang manipulatif menambah keseruan persaingan mereka. Sejak menit awal Will Farrell masih tampil dengan guyonan-guyonan khasnya, terutama yang mempermalukan dirinya. Ada beberapa dirty joke di sana-sini, terutama yang berkaitan dengan genital yang untungnya masih cukup relevan dengan temanya dan masih tergolong ‘sopan’, serta sumpah serapah yang levelnya juga mild. Jujur, sejak awal, gelaran jokes DH terasa tidak se-gripping di film-film Will Ferrell biasanya, baik dari segi level kelucuan tiap joke maupun dosis. Oh ya, saya masih bisa tertawa lepas dan terbahak-bahak, tapi tidak sekonstan biasanya.
Namun yang begitu mempesona saya adalah ketika mencapai klimaksnya, DH menunjukkan hati yang begitu besar. Persaingan sengit perebutan status ‘dad’ ini berubah menjadi sebuah resolusi yang menyenangkan semua pihak, relevan, bisa dipahami oleh anak-anak sekalipun, dan terasa begitu hangat. Topik fatherhood yang tidak mudah dan life-changing process, sampai fakta bahwa marriage is not for everybody, menjadi elemen-elemen dalam cerita DH yang menarik, berbobot, disampaikan lewat satir yang cerdas dan tetap berhasil menghibur. Akhirnya pada momennya, hati saya pun langsung mendadak jatuh cinta dengan naskah dan bagaimana Sean Anders memvisualisasikan komedi keluarga yang mungkin tak sepenuhnya aman (oh ya, saya sangat mempertanyakan keputusan LSF memberi rating Semua Umur untuk DH), namun dengan dampingan orang dewasa, bisa menghangatkan seluruh keluarga sambil dibuat tertawa terbahak-bahak.
Will Ferrell di sini memberikan performa yang setara dalam karakter yang masih tergolong tipikal seperti film-film komedinya sebelumnya. Namun tak hanya itu, ia pun berhasil mencuri hati sekaligus simpati penonton di momen-momen yang tepat. Begitu juga dengan Mark Wahlberg yang di awal-awal mau tak mau membuat mata penonton terbelalak meskipun mungkin juga akan sebal dengan sikapnya di saat yang bersamaan. Selain Will dan Mark yang menjadi showcase utama, jajaran supporting cast yang turut membuat suasana DH lebih meriak oleh gelak tawa adalah Thomas Haden Church sebagai Leo Holt yang mengingatkan saya akan mood Anchorman, Bobby Cannavale sebagai dokter populer, Dr. Francisco, dan komika Hannibal Buress sebagai Griff yang menyumbangkan humor-humor satir tentang ‘rasism’. Linda Cardellini masih mempesona meski tampil sebagai ‘hot mama’. Terakhir, kehadiran pegulat WWE, John Cena dan bidadari Victoria’s Secret, Alessandra Ambrosio, adalah pemilihan yang tepat untuk karakter masing-masing, dimana sukses membuat suasana semakin ‘pecah’.
Film yang ‘seru’ tentu didukung dan ditentukan pula oleh pemilihan soundtrack pengiring. DH memilih lagu-lagu yang tepat guna di sini; sesuai suasana dan populer di masing-masing genre maupun eranya, seperti Self Esteemdari The Offspring, Dirt Off Your Shoulder dari Jay-Z, My Girl dari The Temptations, Live Your Life dari T.I. feat Rihanna, dan Like a G6 dari Far East Movement. Saking tepatnya, bukan tak mungkin Anda akan ingat adegan-adegan dari DH ketika mendengarkan lagi lagu-lagu tersebut. Selain dari itu, tak ada yang istimewa maupun bermasalah di teknis, termasuk sinematografi Julio Macat, editing Eric Kissack dan Brad Wilhite, maupun tata suaranya.
Selain fans Will Ferrell yang sudah terlanjur cocok dengan selera humornya, DH sayang untuk dilewatkan sebagai tontonan bersama keluarga (terutama jika anggota keluarga Anda sudah remaja ke atas semua). Ada beberapa crude humor dan genital related jokes (tak terlalu frontal juga sih), tapi masih tergolong aman untuk ditonton bersama anak di bawah umur dengan dampingan orang tua tentunya. Film komedi yang bikin ketawa ngakak sepanjang durasi, tapi juga bisa bikin hati jadi sangat hangat di klimaksnya, DH definitely has a super cool and super big heart.
Lihat data film ini di IMDb.
0 Response to "The Jose Flash Review Daddy's Home"