Kisah hubungan antara orang tua dan anak sudah berkali-kali diangkat dan terbukti seringkali ampuh untuk menguras emosi sekaligus emosi penonton. Logikanya mudah, semua orang pasti punya orang tua, dan drama orang tua-anak akan dengan mudah relate dengan siapa saja. Tinggal bagaimana meramu formula-formula yang sudah familiar sehingga tetap berhasil memancing emosi penonton. Sebuah naskah dari project Black List tahun 2012 yang ditulis oleh Brad Desch tentang hubungan ayah dan putrinya terpilih untuk diangkat ke layar lebar serta diproduksi bersama oleh PH Amerika Serikat dan Italia. Sutradara Gabriele Muccino yang pernah sukses dengan formula serupa lewat The Pursuit of Happyness dan Seven Poundsditunjuk menjadi kapten, dengan deretan cast yang tak boleh diremehkan. Mulai Russell Crowe, Amanda Seyfried, Aaron Paul, Diane Kruger, Quvenzhané Wallis, hingga Jane Fonda. Dengan nama-nama yang tergolong berkelas di Hollywood, film bertajuk Fathers and Daughters (FaD) ini jelas menarik perhatian.
Pasca kecelakaan yang menewaskan istrinya, Jake Davis mengalami gejala kejang-kejang yang memungkinkannya menderita penyakit yang lebih serius. Jake terpaksa menitipkan putri tunggalnya, Katie, ke keluarga adik sang istri, Elizabeth, dan menjalani terapi selama beberapa bulan. Setelah selesai terapi, Elizabeth bersikeras untuk mengadopsi Katie, dengan alasan secara finansial Jake sedang jatuh. Mulai dari nol, Jake yang seorang penulis novel terkenal bersikeras menyelasaikan novel terbaru demi mempertahankan hak asuh Katie. Namun ternyata kesehatan Jake sebenarnya belum sepenuhnya pulih.
Setelah dewasa, Katie bekerja sebagai relawan di sebuah badan sosial yang menangani anak-anak yatim piatu. Katie tertarik dengan seorang gadis muda, Lucy, yang mogok bicara semenjak ibu kandungnya meninggal dunia. Tak ada seorang pun yang berhasil membuat Lucy berbicara satu kata pun. Perlahan Katie mencoba menjalin pertemanan dengan Lucy dan memulihkan psikologisnya. Siapa sangka Katie sendiri punya masalah dengan relationship yang membuatnya selama ini lebih memilih untuk one night stand ketimbang menjalin hubungan yang serius. Kehadiran seorang pria bernama Cameron yang mengaku penggemar berat Jake, membuat Katie semakin bimbang dengan ketakutan dirinya sendiri selama ini.
Secara garis besar FaD memang punya cerita pertalian psikologis yang menarik dan berpotensi untuk menjadi tearjerker ampuh. Benar saja, Muccino memang berhasil membuat beberapa momen spesialnya begitu menyentuh dan menggugah emosi saya tanpa harus menampilkan adegan tangis berlebihan, misalnya ketika lagu Close to You yang membuat adegannya terasa begitu manis sekaligus memilukan. Upaya untuk menautkan masa kecil Katie dengan dampak psikologisnya ketika dewasa yang ‘mati rasa’ hingga lebih memilih untuk one night stand, sebenarnya juga jadi materi yang menarik. Apalagi sub-plot hubungan antara Katie dan Cameron dikembangkan dengan cukup baik. Beberapa adegan seks yang meski memang tak ditunjukkan secara eksplisit, tapi di ranah film tentang orang tua dan anak tergolong mengejutkan.
Sayangnya, FaD memilih alur campuran yang membuat penonton bingung untuk fokus. Ditambah lagi pergantian alurnya tergolong random, tanpa punya hubungan yang cukup kuat maupun mulus. Alih-alih mendapatkan pemahaman sekaligus emosi yang utuh, penonton dibuat bingung dengan arah dan tujuan film. Belum lagi sub-plot tentang Katie dan Lucy yang sebetulnya juga menarik, terasa menjadi yang paling tidak punya pertautan apa-apa dengan kedua sub-plot lainnya. Lagi-lagi fokus emosi saya harus terpecah-pecah. Gagal menjadi tontonan utuh yang bagus, salah satu yang bisa dinikmati dari FaD adalah beberapa momen yang memang berhasil memancing emosi penonton.
Keberhasilan itu tentu tak lepas dari performa yang sangat baik dari para aktornya. Terutama Russell Crowe sebagai Jake Davis dan Amanda Seyfried sebagai Katie. Crowe dengan kharismanya bisa dengan mudah mencuri simpati penonton. Belum lagi mentality breakdown hingga seizure yang dilakoni oleh Crowe dengan begitu hidup dan menyentuh. Seyfried mungkin lebih banyak terlihat bingung dengan keadaan karakternya, namun tentu saja ia punya momen yang menunjukkan performa akting mumpuninya. Kylie Rogers yang memerankan Katie kecil pun memberikan performa sekaligus chemistry akting yang begitu kuat dengan Crowe. Aaron Paul tak buruk meski saya merasa ia terlalu ‘keras’ untuk karakter Cameron. Quvenzhané Wallis dan Diane Kruger tak punya porsi yang cukup untuk memukau penonton. Perhatian saya justru tercuri oleh penampilan Jane Fonda sebagai agen Jake, Teddy Stanton.
Sinematografi Shane Hurlbut memberikan nuansa dan pace yang smooth untuk FaD yang memang cenderung melankolis. Tak istimewa, tapi tergolong pas untuk nuansa dan mood film. Alex Rodriguez sebagai editor yang menjadi salah satu faktor penentu jalan cerita FaD mungkin kebingungan untuk membuatnya kesatuan cerita yang utuh dengan tiga sub plot yang berjalan paralel. Not completely his fault, tapi tetap saja tanggung jawab keseluruhan ada di tangannya. Musik dari Paolo Buonvino mengiringi momen-momen terbaiknya, seiring dengan pemilihan lagu-lagu yang berhasil menguras emosi penonton. Tak ketinggalan pemilihan theme song berjudul sama, Fathers and Daughters, yang menandai kembalinya Michael Bolton, membuat penonton ingin memeluk ayah atau anak ketika kredit mulai berjalan.
Seperti kebanyakan film tentang orang tua dan anak, FaD masih bisa berhasil menguras emosi penonton bahkan mungkin sampai menitikkan air mata, entah itu air mata kesedihan, kerinduan, atau kebahagiaan. Namun sebagai satu rangkaian cerita utuh yang sejatinya saling berhubungan, FaD masih termasuk gagal. Alhasil ia gagal pula menjadi salah satu film orang tua-anak yang bakal bisa bertahan dalam benak untuk jangka waktu yang lama. Well, jika Anda tetap bersikeras ingin mencobanya, setidaknya masih bisa mengandalkan performa akting dari para cast.
Lihat data film ini di IMDb.
0 Response to "The Jose Flash Review Fathers and Daughters"