Baru bulan September lalu kita ‘diajak’ mendaki Everest, kali ini Korea Selatan tak mau kalah mengundang dunia mengenal salah satu tokoh mountaineer populer mereka, Um Hong-Gil, yang sudah sukses menjalankan misi mendaki 16 puncak tertinggi di dunia dalam jangka waktu 12 tahun. Beliau adalah orang Korea Selatan pertama dan ke-11 di dunia yang menerima penghargaan Himalayan Crown. Sampai sekarang, total ia sudah berhasil mencapai puncak Everest sebanyak tiga kali, termasuk sisi Utara dan Selatan Everest. Film biopic yang bertajuk The Himalayas ini konon sukses mengalahkan pendapatan Star Wars: The Force Awakens di negara asalnya. Terkesan ‘hanya’ jago kandang, tapi mengalahkan franchise sebesar Star Wars tentu sebuah prestasi yang tidak main-main.
Kapten tim pendakian berpengalaman, Um Hong-gil, pertama kali bertemu Park Moo-taek ketika ia menyelamatkan Moo-taek dan temannya, Park Jung-bok. Hong-gil memperingatkan keduanya untuk tidak pernah mendaki gunung lagi karena menganggap mereka terlalu ignorant terhadap aturan-aturan keselamatan yang harus dipatuhi para pendaki. Bertahun-tahun kemudian keduanya muncul sebagai calon junior tim pendaki yang diajukan untuk tim Hong-gil. Setelah perjuangan meyakinkan yang tak mudah, Hong-gil setuju keduanya dilatih dan menjadi anggota tim pendakinya. Sebuah misi menuju puncak Kangchenjunga, puncak tertinggi ketiga di dunia, membuat keduanya menjalin persahabatan yang lebih erat.
Seiring dengan waktu, faktor kesehatan dan keluarga membuat Hong-gil memutuskan untuk pensiun dari mountaineering. Padahal ia pernah berikrar akan menaklukkan 16 puncak dunia bersama Moo-taek. Ikrar itu menjadi mustahil ketika Moo-taek diberitakan meninggal dunia dalam perjalanan mendaki puncak Utara Everest bersama 2 orang lainnya, Jang Min dan Baek Jun-ho. Setahun kemudian, Hong-gil memutuskan untuk mengumpulkan timnya kembali ke Everest dan membawa pulang jenazah Moo-taek, Jang Min, dan Baek Jun-ho.
Berbeda dengan beberapa film bertemakan mountaineering, The Himalayastak berfokus pada sebuah misi penjelajahan mendaki puncak Everest semata. Ia justru mengambil kisah persahabatan antara Hong-gil dan Moo-taek untuk dibangun dan menjadi potret kemanusiaan (serta persahabatan) di circle mountaineering dengan latar Everest. Ini yang membuat kisah The Himalayas menjadi menarik. Penonton diajak untuk mengenal dan dekat dengan mereka, sehingga pada titik-titik tertentu bisa dimanfaatkan untuk memancing emosi penonton. Harus diakui, dalam film bertemakan seperti ini, mau apapun fokusnya, tetap saja daya tarik utamanya adalah elemen emosi yang dialami penonton. Baik itu sisi kemanusiaan yang menyentuh atau petualangan yang menegangkan. And you know them Korean, they’re really good at exploiting emotional side. So yes, The Himalayasisangat berhasil membuat penonton merasakan kehilangan, kehangatan bersahabatan, kenikmatan sebuah pencapaian, sampai teror di tengah misi pendakian. Way way much more than Everest did.
Ada beberapa aspek menarik pula yang diangkat oleh The Himalayas, yang membuat penonton semakin memahami pola pikir para mountaineering. Seperti misalnya tentang apa yang dicari dan dirasakan ketika sudah sampai puncak, kenapa harus turun setelah bersusah-susah naik, prinsip ‘meminta ijin gunung’ ketimbang ‘menaklukkan gunung’, hingga implementasi metafora pendakian di kehidupan sehari-hari. Pandangan budaya Korea Selatan terhadap kematian juga bisa terlihat dengan jelas ketika tim Hong-gil mau bersusah payah membawa pulang jenazah Moo-taek. Misi yang sangat langka dalam sejarah pendakian Everest. Aspek-aspek inilah yang menjadi poin lebih yang memperkaya cerita The Himalayas selain sekedar cerita petualangan pendakian (baca: menaklukkan) puncak Everest semata.
Hwang Jeong-min yang pernah mencapai sukses di Ode to My Fatherdan Veteran sekali membuktikan bahwa usia yang sudah tidak muda bukan menjadi halangan kesuksesan di film. Jeong-min berhasil memerankan karakter utama, Um Hong-gil, dengan kharisma penuh. Tak terlalu butuh detail karakter tertentu yang istimewa, tapi Jeong-min sangat berhasil memainkan emosi dan menarik simpati penonton. Chemistry persahabatan yang dijalin bersama Jung Woo (Moo-taek) terasa convincing dan natural meski digambarkan mengalami naik-turun yang cukup dramatis. Selain dari mereka berdua, hampir ke semua cast, terutama pemeran anggota tim pendakian Hong-gil, tampil pas sesuai porsi masing-masing. Tetap jadi perhatian penonton tapi tak sampai mengusik fokus utama, Hong-gil dan Moo-taek.
Cerita yang terjalin apik didukung pula oleh sinematografi Kim Tae-sung yang berhasil merekam petualangan pendakian pada momen-momen terpentingnya, emosi-emosi terdalam, serta yang terpenting, merekam keindahan panorama Everest secara maksimal. Ketajaman gambar cukup konsisten terjaga, di layar sebesar Sphere X sekalipun. Ada beberapa adegan long shot dan panoramic yang terlihat sedikit di bawah ketajaman gambar-gambar utama yang mungkin direkam dengan action camera, tapi tidak sampai merusak cinematic experience secara keseluruhan. Tata suara juga patut mendapat kredit lebih, terutama karena detail sound effect dan pembagian kanal surround yang luar biasa, sehingga menambah kesan realistis experience-nya. Favorit saya, suara gesekan ascender equipment dan tentu saja badai salju.
So yes, The Himalayas mungkin bukan film tentang penjelajahan Puncak Everest yang paling berkesan ataupun ultimate. Tapi cerita kemanusiaan yang ditampilkan dengan apik dan berhasil mengundang emosi penonton secara maksima, serta aspek-aspek filosofis pendakian yang disertakan, bagi saya The Himalayas memperkaya wawasan tentang mountaineering. Cinema experience lebih maksimal jika Anda menyaksikannya di layar sebesar Sphere X dengan tata suara mumpuni pula.
Lihat data film ini di KMDb.
0 Response to "The Jose Flash Review The Himalayas [히말라야]"