Renee Pictures adalah PH film Indonesia yang tergolong baru namun berani memproduksi film dengan berbagai genre. Setelah drama romantis, komedi chaotic, dan horor, sebagai film keempatnya, Renee Pictures mempersembahkan slasher thriller bertajuk Midnight Show (MS). Dari ide cerita Gandhi Fernando dikembangkan oleh penulis naskah Husein M. Atmodjo. Ginanti Rona Tembang Asri ditunjuk sebagai sutradara. Sebelumnya sutradara wanita muda ini dikenal sebagai astrada dari film-film bertemakan slasher seperi Rumah Dara dan The Raid. Daya tarik lainnya adalah keterlibatan aktris Acha Septriasa sebagai lead yang mana ini merupakan kali pertamanya membintangi film thriller/horor, setelah selama ini dikenal sebagai bintang drama romantis.
Bersetting di akhir dekade 90-an, dimana iklim usaha bioskop semakin meredup. Di tengah menurunnya jumlah penonton, bioskop Podium mempekerjakan Naya yang bertugas menjadi penjaga loket, sang projeksionis, Juna, sang sekuriti, Allan, petugas kebersihan, Lusi, dan pemilik bioskop, Pak Johan. Suatu malam akan diputar film berjudul Bocah sebagai tayangan midnight show di Podium. Konon film ini berdasarkan kisah nyata seorang bocah yang menghabisi seluruh keluarganya secara kejam. Penayangan sempat akan dibatalkan karena tak ada penonton, namun di menit-menit terakhir satu per satu berdatangan. Ada seoang bapak tua yang terlihat kebingungan, sepasang kekasih, Ikhsan dan Sarah, serta seorang pemuda misterius ber-hoodie hitam, Juna. Keadaan semakin mencekam ketika terjadi pembunuhan di dalam studio saat pemutaran film Bocah. Tak hanya berusaha menyelamatkan diri agar tidak menjadi korban berikutnya, mereka juga harus memecahkan misteri siapa pelakunya dan apa hubungannya dengan film Bocah yang sedang diputar.
Genre slasher thriller terhitung masih jarang ada di film Indonesia. Maka tiap kali kemunculan film serupa yang digarap dengan baik, menjadi daya tarik tersendiri. Tak terkecuali untuk Midnight Show yang jelas menunjukkan peningkatan cukup signifikan dari produksi Renee Pictures di berbagai departemen. Overall, Ginanti berhasil menghidupkan nuansa mencekam dan menegangkan sejak menit pertamanya. Ia juga berhasil menghadirkan adegan-adegan hide-and-seek dan slasher-nya dengan energi serta momentum yang serba tepat. Ini menjadikan MS sajian thriller berkelas yang berhasil mengacak-acak emosi penonton. Ada beberapa scene yang terasa terlalu carried away dan karena keberadaannya cukup sering terjadi, sehingga sedikit mempengaruhi laju penceritaan. Ganjalan lain juga terasa ketika ia berusaha membuka satu per satu layer rahasianya. Adegan-adegan revealing ditampilkan dengan agak kurang luwes sehingga mungkin membuat penonton harus berkonsentrasi lebih untuk memahaminya, atau malah perlu analisis ulang setelah film berakhir. Kendati demikian, cara ia menjaga dan akhirnya membuka satu per satu layer rahasianya harus diakui tergolong cerdas dan tidak semudah biasanya untuk ditebak. Termasuk juga konsep cerita secara keseluruhan yang layak mendapatkan apresiasi lebih.
Penampilan Acha Septriasa sebagai lead di film thriller ternyata masih memberikan performa terbaik. Ia mampu menjadi lead yang cukup kuat untuk mengundang simpati sekaligus menjadi motor penggugah emosi penonton. Gandhi Fernando sebagai Juna yang selama ini dicibir karena selalu tampil di film-film yang ia produksi, memberikan performa yang jauh lebih baik daripada sebelumnya. Setidaknya ia sudah tampil lebih santai, laid-back, dan tidak berakting berlebihan maupun terkesan dibuat-buat seperti sebelum-sebelumnya. Gesata Stella sebagai Lusi juga menunjukkan performa akting yang lebih baik dari biasanya, tentu ini berkat karakter yang memang lebih menantang ketimbang yang selama ini ia perankan. Ratu Felisha yang sudah berpengalaman di genre thriller/horror, masih memberikan kualitas performa yang setara lewat karakter yang sebenarnya tergolong tipikal. Sementara Boy Harsya, Daniel Topan, dan Ronny P. Tjandra tidak punya running time yang cukup untuk menjadikan karakter mereka lebih menarik lagi.
Dalam menjalankan misinya, MS dibekali teknis yang sangat mumpuni sekaligus mendukung. Sinematografi Joel Fadly Zola yang dengan sangat baik memframe tiap kejadian penting dengan latar desain produksi berkelas dari Aek Bewava. Bioskop ‘klasik’ Galaxy di Bogor dan bioskop Mall Cimanggis, Depok yang ketika syuting masih beroperasi namun sudah tidak lagi delapan bulan setelah syuting selesai, menjadi setting ‘sempurna’ untuk menghidupkan nuansa creepy. Tata suara terdengar begitu detail dan punya keseimbangan sound effect, score music, dan dialog yang sangat baik, lengkap dengan pemanfaatan fasilitas surround yang maksimal serta scoring-scoring berkelas namun ‘sakit jiwa’ dari Jerapah Sound. Editing dari Andhy Pulung tu, termasuk coloring yang membuatnya tampak semakin berkelas, turut menjadikan flow cerita dan energi MS terjaga sebagai sebuah sajian thriller.
Bagi penggemar slasher thriller, MS jelas sajian yang haram untuk dilewatkan di layar lebar. Dengan dukungan teknis yang sangat mendukung, konsep cerita yang cerdas dan rapi, meski ada beberapa bagian yang masih kurang luwes disampaikan secara visual, MS adalah a smart and gripping slasher thriller we rarely experience.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
0 Response to "The Jose Flash Review Midnight Show"