Latest News

The Jose Flash Review Ngenest

Trend komika masih terus mendominasi di dunia hiburan Indonesia. Tak hanya Raditya Dika yang terkesan paling pioner merambah berbagai bidang selain sebagai stand-up comedy di panggung. Terbukti ensemble komika juga berhasil menjadi daya tarik besar lewat Comic 8 dan sekuelnya, Comic 8: Casino Kings Part I. Sebenarnya komika tak akan terlalu sulit merambah dunia film, karena basic struktur komedi stand up yang tak jauh berbeda dengan struktur penyusunan cerita. Beda yang paling kentara mungkin faktor penyusun tiap strukturnya, durasi, dan aspek-aspek lain yang lebih detail lagi, seperti karakter, plot, dan lain sebagainya. Namun yang tak kalah pentingnya adalah bakat dan kharisma sehingga seorang komika bisa cukup kuat untuk menjadi lead character. Ada cukup banyak komika setelah Dika yang mencoba, tapi tak semuanya berhasil. Ada pula yang hanya berhasil jika menjadi supporting cast, cameo, atau tampil dalam ensemble. Keunikan karakter menjadi salah satu syarat seorang komika bisa jadi lead dalam sebuah film tentang dirinya. Dika berhasil dengan kekhasan materi tentang being a single. Kini giliran Ernest Prakasa yang dikenal dengan materi khas tentang ke-Cina-annya, mencoba memanfaatkannya sebagai debut layar lebar. Tak hanya sebagai lead, tapi juga sutradara dan penulis naskah. Beruntung StarVision yang dikenal suka mencoba berbagai genre dan style memberi kesempatan tersebut kepada Ernest lewat film adaptasi novel trilogy-nya, Ngenest: Ketawain Hidup a la Ernest. Tentu saja keputusan StarVision ini juga tak lepas dari fakta bahwa Ernest sudah punya fanbase yang cukup besar, kuat, dan berasal dari range yang cukup luas.

Ngenest tentu memfokuskan ceritanya pada karakter Ernest yang sejak kecil jadi bahan ejekan karena ke-Cina-annya. Sedikit demi sedikit Ernest menemukan cara supaya teman-teman, seperti geng preman sekolah, mau menerima dia sebagai teman dan berhenti mem-bully-nya. Sayangnya semua berakhir kekonyolan. Hanya sehabatnya, Patrick, yang selalu jadi tempat pelarian Ernest. Berbeda dengan Ernest, Patrick cenderung cuek dengan ke-Cina-annya. Sejak itu Ernest pun berniat untuk menikahi gadis pribumi, sekedar supaya anaknya tidak sipit dan mengalami hal yang sama dengan dirinya. Niatan itu teramini ketika ia berkuliah di Bandung dan berkenalan dengan Meira. Seagama pula. Setelah mendapatkan restu orang tua kedua belah pihak yang harus melalui proses tak mudah, pernikahan Ernest dan Meira terjadi. Namun ketakutan dan kekhawatiran Ernest tak sampai di situ, karena kemungkinan anaknya sipit seperti dia tetap ada.

Polemik diskriminasi etnis Cina memang sudah punya riwayat yang cukup panjang di Indonesia, dan masih terus memanas sampai sekarang, meski di banyak wilayah sebenarnya sudah cukup terakulturasi dengan baik. Bahkan mantan presiden SBY pernah mengeluarkan aturan untuk tidak menggunakan istilah ‘Cina’, diganti dengan ‘Tiongkok’ untuk nama negara, dan ‘Tionghoa’ untuk etnis. Keputusan yang menggelikan, menurut saya, karena di seluruh penjuru dunia tidak pernah ada yang mempermasalahkan istilah Cina. Toh menurut saya yang kebetulan juga keturunan Cina, kesalahan juga terletak pada etnis Cina di Indonesia yang sejak lama terdoktrin untuk meng-eksklusif-kan diri, sehingga banyak yang enggan untuk berbaur. Doktrin ini yang kemudian mendapatkan feedback negatif pula dari pihak sebaliknya. Pada perkembangan selanjutnya, etnis Cina sendiri yang sering merasa insecure dan mudah tersinggung, bahkan ketika ada lawakan yang menirukan logat orang Cina sekalipun. Well, perasaan inferior ini sebenarnya menjangkiti sebagian besar etnis di Indonesia yang sering menjadi bahan guyonan karena ke-khas-annya. Padahal di era Orde Baru dulu tidak pernah jadi masalah.

Balik ke Ngenest, materi yang sebenarnya cukup sensitif untuk diangkat bahkan untuk saat ini, memang lebih tepat jika disampaikan oleh orang yang memang berasal dari etnis Cina sendiri (like, it was okay for black people to call their friends nigga rather than if white people do) dan lewat medium komedi, bukan sesuatu yang serius. Selain menjadi medium yang pas bagi non-etnis Cina untuk lebih mengenal dan memahami etnis Cina, juga menjadi bahan retrospeksi bagi etnis Cina sendiri untuk tidak lagi ‘minder’ dengan ke-Cina-annya. Di proyek debutnya ini, Ernest menunjukkan keseriusan dan bakat yang lebih dari cukup, baik sebagai penulis naskah maupun sutradara. Ia berhasil menyusun alur cerita yang cukup rapi, setup-setup yang masuk akal, fokus cerita yang terjaga, karakter-karakter yang kuat, baik lead maupun supporting, dikembangkan dengan pas dan seimbang pula. Serta yang paling penting, memasukkan guyonan-guyonan yang tepat mengena tepat pada subjeknya ke dalam alur ceritanya dengan porsi sangat pas. Soal guyonan, let’s leave it to each of us’ taste. Yang pasti bagi saya personally, lebih banyak yang hit ketimbang miss. Tak hanya soal ke-Cina-an, tapi juga lewat dialog cerdas, slapstick, reference humor, yang mengandalkan ekspresi para aktornya, sampai humor seks yang sometimes nyerempet terlalu jauh. Khusus untuk tipe humor yang terakhir, harus diakui saya memang agak merasa risih karena beberapa kali agak kelewatan dan kurang relevan dengan adegan. Tapi untungnya tak sampai menciderai paket keseluruhan.

Cerita gado-gado yang menandai tiap fase kehidupan Ernest: kecil, remaja, kisah romance bersama Meira dengan tantangan dari pihak keluarga, sampai kekhawatiran Ernest untuk punya anak, memang terdengar terlalu banyak serta muncul kekhawatiran menjadi kehilangan keseimbangan dan fokus. Berkat kemasan humor yang ditawarkan, kekhawatiran itu tak terasakan. Sayangnya ia mulai sedikit kehilangan balance ketika mulai masuk fase terakhir, yaitu ketika Ernest enggan punya anak. Meski secara alur disusun dengan padat dan rapi, namun nuansa yang mulai kelewat serius dan guyonan-guyonan yang mulai berkurang, terasa menjadi turnover yang agak cukup signifikan. Untungnya sebagai sutradara, Ernest tidak membuatnya jadi berlarut-larut dan masih mampu menjaga pace sehingga tak terasa terlalu dalam jatuh ke melodrama yang dragging. Wrap up juga menjadi masalah yang membuat Ngenest belum mampu menutup ceritanya secara smooth. Ketika sebenarnya ia sudah berhasil menyentuh emosi penonton dengan senyum bahagia, ia seolah masih ingin menggabungkan semua karakter yang sempat muncul ke dalam satu frame, dengan dosis guyonan yang cukup banyak pula. Alhasil titik klimaksnya seolah terlewati begitu saja dan jadi kurang terasa karena ‘sempalan’ di penghujung ini. Mungkin akan lebih terasa nyaman jika ‘sempalan’ ini dibuat sebagai potongan-potongan fragmen  seiring dengan jalannya credit title, sebelum fragmen behind the scene gila-gilaan yang sebenarnya berkesan nyambung dengan adegan penutup.

Sebagai aktor, mungkin Ernest tak banyak berakting karena basically memang memerankan diri sendiri. Namun Ngenest ternyata didukung oleh supporting cast yang tampil mengesankan dan menjadikan filmnya hidup pun meriah. Mulai Morgan Oey yang tampil laid back, pas dengan karakternya yang memang asyik, sampai Lala Karmela, biduan yang ternyata punya pesona cukup untuk peran dengan porsi cukup banyak. Tak hanya cantik secara fisik, tapi juga mampu tampil dengan personality menyenangkan dan bisa menunjukkan naik-turun emosi dengan pas serta convincing. In many scenes, she stole it. Nama-nama kondang di deretan berikutnya tak kalah menarik, mulai Ferry Salim, Olga Lydia, Budi Dalton, Ade Gitria Sechan, GE Pamungkas, Franda, Lolox Ahmad, Adjis Doaibu, Fico, Ence Bagus, Muhadkly Acho, Chika Jessika, sampai Arie Kriting. Masing-masing bisa dikenali penonton dengan mudah dan menjadi daya tarik tersendiri. Namun dari semuanya, Henky Solaiman dan Elkie Kwee sebagai Koh Hengky jelas menjadi penampilan yang paling berkesan, apalagi bagi penonton beretnis Cina yang familiar dengan lagu Yue Liang Dai Biao Wo De Xin, lagu wajib etnis Cina di Indonesia.

Tak ada yang terlalu istimewa, namun juga jauh dari kesan buruk, di teknis. Sinematografi Dicky Maland jelas cukup efektif dalam bercerita, sementara editing Cesa David Luckmansyah, seperti biasa, piawai dalam menjaga pace. Dinamis di momen-momen komedi, tapi juga bisa lembut di momen-momen mellow. Tata suara tak terasa istimewa, selain fasilitas Surround 7.1 yang terdengar cukup dimanfaatkan dalam membagi kanal. Terakhir, lagu Mungkin dan Ku Ingin Kau Tahu dari The Overtunes menjadi pengiring yang cocok dengan mood film. Mereka punya fanbase yang sangat kuat sebagai tambahan target audience pula. A really good choice.

Di film debutnya ini Ernest cukup banyak menggabungkan formula dengan harapan mengena pada subjeknya dan bisa diterima penonton dengan range yang seluas-luasnya. Tak sepenuhnya sempurna karena ada hal-hal minor yang masih terasa miss. Namun overall, it’s a really really good debut for Ernest, baik sebagai sutradara, penulis naskah, maupun lead character. Karya-karya berikutnya layak ditunggu. Semoga tak hanya bermain-main di materi khasnya sebagai topik utama. Sekedar ‘sempalan’, boleh lah, mengingat ke-Cina-an masih bisa jadi materi guyonan yang ampuh. Toh itu sudah menjadi signature-nya.

Lihat data film ini di filmindonesia.or.id

0 Response to "The Jose Flash Review Ngenest"