Latest News

The Jose Flash Review Surat dari Praha

Nama Angga Dwimas Sasongko sebagai sineas Indonesia semakin berkibar seiring karya-karya yang terus mendapatkan perhatian berbagai penghargaan film. Musisi sekelas Glenn Fredly pun tak berhenti mendukung visi Angga sejak Cahaya dari Timur: Beta Maluku, Filosofi Kopi, dan kini di karya terbarunya, Surat dari Praha (SdP). Diinspirasi dari cerita para eksil mahasiswa Indonesia yang menetap di Praha setelah tidak bisa pulang ke negaranya karena di-ban pemerintahan Orde Baru,  serta lagu-lagu ballad cantik dari Glenn sendiri, SdP mencoba menawarkan warna  baru untuk sinema Indonesia.

Larasati yang sedang menggugat cerai suaminya berusaha membujuk sang ibu, Sulastri agar meminjamkan sertifikat rumah sebagai jaminan gadai pengurusan sidang perceraian. Sampai akhir hayat sang ibu, Larasati belum berhasil mendapatkannya. Surat wasiat Sulastri justru memberikan hak kepemilikan rumah itu dengan syarat Larasati mau menyampaikan langsung sebuah kotak terkunci ke sebuah alamat di Praha. Tanpa rasa ingin tahu, Larasati melakoninya. Kotak pun diantarnya langsung ke seorang pria seusia ibunya, Jaya. Sialnya, Jaya menolak mentah-mentah kotak dan kehadirannya. Meski awalnya bersikap keras, perlahan Jaya melunak karena belas kasihan terhadap Larasati yang berada di negara asing sendirian. Perlahan pula Larasati mengetahui siapa Jaya sebenarnya dan pengaruhnya terhadap Sulastri dan dirinya. Kesemuanya mengarah ke sebuah sejarah kelam Indonesia terhadap para mahasiswanya yang tak bisa pulang saat Orde Baru karena dituduh PKI.

Selama ini sinema Indonesia lebih sering mengangkat tema sejarah lewat sebuah biopic linear yang sayangnya, jarang punya fokus poin yang jelas. SdP menawarkan fakta sejarah dengan sudut pandang penceritaan dan formula yang sedikit berbeda. Karakter Larasati dipilih sebagai lead yang berkembang untuk menemukan ‘kedamaian’ dengan dirinya sendiri dan sang ibu lewat pertemuannya dengan Jaya. Sejarah kelam yang pernah mewarna negeri ini pun menjadi latar yang tak sekedar latar, tapi punya emotional impact yang sangat besar dan kuat terhadap fokus cerita. Di atas kertas, mungkin plot SdP berjalan dengan begitu sederhana, tapi sebenarnya sudah sangat padat memuat semua yang penting untuk disampaikan penonton agar merasakan setiap emosi yang terjadi di layar, baik dari sudut pandang Larasati maupun Jaya.

Namun kekuatan paling besar dari SdP adalah bagaimana treatment Angga membawa sekaligus menggerakkan keseluruhan mood film menjadi begitu pas dengan naskah M. Irfan Ramli (Cahaya dari Timur: Beta Maluku).  SdP bak sebuah harmonisasi melodius, baik secara musikal, visual, maupun emosi. Saya yang kebetulan menontonnya sendirian seolah seperti sedang melakukan solo traveling di kota Praha sambil mendengarkan alunan melodi lagu yang sangat mendukung saya mengamati tiap sudut kota dan berkontemplasi melalui karakter-karakter yang saya lihat di layar. Cita rasa yang diracik dengan begitu indah menghantarkan cerita SdP yang sederhana menjadi sebuah pengalaman personal yang begitu kuat terasa secara emosional.

Kekuatan racikan Angga didukung pula oleh performance sekaligus chemistry yang luar biasa kuat dari dua lead-nya, Julie Estelle dan Tio Pakusadewo. Perkembangan karakter Larasati di awal memang tak terlalu banyak, tapi dibuat mengalir hingga akhir film. Luapan emosi Julie yang meledak-ledak mungkin tak terlalu istimewa, tapi proses perubahan menjadi lebih melunak dan berhasil berdamai dengan diri sendiri, mampu ditampilkan dengan sangat convincing dan logis. Begitu juga proses perubahan karakter Jaya yang mulus dibawakan oleh Tio. Ketika keduanya berhasil sama-sama meredakan emosi, keduanya menjadi paduan yang manis, hangat, tanpa tendensi hubungan yang canggung.

Widyawati yang tampil sekilas di awal film turut memberikan semacam ‘pengantar’ cerita yang mengesankan. Rio Dewanto yang berperan sebagai Dewa mungkin terasa tak begitu penting selain penghantar product placement, tapi kehadirannya cukup berkesan. Setidaknya, star-factor-nya cukup berperan untuk menghiasi nuansa keseluruhan film. Terakhir, kehadiran Jajang C. Noer, Chicco Jerikho (yang juga duduk sebagai salah satu produser), Shafira Umm, dan ibunda mendiang Ryan Hidayat, Eva Jaryfova, sebagai Loretta, menjadi cameo yang cukup menarik perhatian.

Visi Angga menjadi makin sempurna berkat dukungan teknis. Mulai sinematografi Ivan Anwal Pane yang tak hanya mampu merekam keindahan kota Praha secara panoramik, namun juga berhasil menggerakkan emosi cerita lewat pergerakan kamera. Latar kota Praha pun menyatu dengan sangat baik dengan cerita. Tata suara Satrio Budiono menghasilkan keseimbangan yang sangat pas untuk dialog, musik, dan sound effect. SdP menjadi sajian yang mengalir tenang, namun berjalan mantap dan yang paling penting, tak membosankan. Tentu ini berkat editing Ahsan Andrian yang punya timing serba pas sehingga menghasilkan emosi maksimal tanpa terkesan berlebihan. Terakhir lagu-lagu yang dihadirkan, termasuk yang dibawakan oleh Julie dan Tio sendiri, Nyali Terakhir dan Sabda Rindu, berhasil menjadi lagu-lagu yang melekat kuat dalam benak penonton, jauh setelah film selesai. Ini berkat tema serta melodi yang diletakkan pas untuk mengiringi visualnya.


Terakhir, SdP yang sempat diwarnai kontroversi karena tudingan plagiarism dari cerpen berjudul sama karya dosen salah satu perguruan tinggi di Malang, membuktikan bahwa rasa dan emosi yang berhasil dihadirkan lewat film jauh lebih penting ketimbang storyline linear yang itu-itu saja untuk genre sejarah. Ada aspek-aspek lain yang bisa dieksplor, bahkan mungkin lebih menarik dari sejarah itu sendiri. Toh sudut pandang ‘dampak’ dari sejarah punya relevansi yang lebih penting untuk masyarakat saat ini. Tudingan plagiarism juga terkesan dibuat-buat karena latar belakang eksil mahasiswa Indonesia yang harus berdiam di Praha adalah fakta sejarah yang bebas diceritakan ulang lewat berbagai sudut pandang di berbagai media. Sama seperti kamp Auschwitz saat jaman Nazi yang sudah berkali-kali diangkat. Selama digarap dengan kedalaman cerita yang cukup, terfokus, disertai fakta, serta digarap menjadi sebuah sajian yang sangat baik, why not?

Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.

0 Response to "The Jose Flash Review Surat dari Praha"