Boneka sudah menjadi subjek film horor sejak lama. Terakhir, 2013 lalu kita mengenal sosok Annabelle dari The Conjuring yang akhirnya punya film berdiri sendiri yang meski kualitasnya biasa saja tapi konon berhasil mencatat di atas 1 juta penonton di Indonesia saja. Ini adalah prestasi yang menarik, mengingat biasanya tak sampai lima judul film impor per tahun di Indonesia yang berhasil menyentuh angka keramat 1 juta penonton. Awal tahun 2016 ini ada satu lagi sosok boneka di ranah horor yang diperkenalkan. Namanya Brahms, boneka porselen yang diperlakukan bak anak laki-laki hidup biasa. Disutradarai William Brent Hall yang pernah berpengalaman menggarap horor yang tergolong oke, seperti Stay Alive, The Devil Inside, dan terakhir, Wer, film bertajuk The Boy ini sudah menarik perhatian sejak trailer pertama dirilis. Lauren Cohan dari serial fenomenal The Walking Dead pun didapuk sebagai karakter utama.
Menghindari sang kekasih yang abusive, Greta menerima tawaran pekerjaan sebagai pengasuh anak keluarga Heelshire yang tinggal di sebuah rumah besar di lingkungan terpencil di Inggris. Betapa kagetnya ia ketika mendapati anak yang diasuhnya adalah sebuah boneka porselen bernama Brahms yang diperlakukan bak anak sendiri oleh pasangan Heelshire. Ada sejumlah peraturan yang harus ditaati Greta dalam mengasuh Brahms jika tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi. Greta yang merasa ini adalah sebuah kekonyolan sering melanggar peraturan-peraturan itu. Menurut asisten pembelanja keluarga, Malcolm, Brahms dulunya adalah putra keluarga Heelshire yang meninggal dalam sebuah kebakaran saat berusia 8 tahun. Semenjak itu pasangan Heelshire meperlakukan boneka itu sebagai Brahms selama 20 tahun. Ketika pasangan Heelshire keluar kota, Greta mulai menerima konsekuensi dari peraturan-peraturan yang ia langgar selama ini.
Layaknya kebanyakan film horor, The Boy membuka cerita dengan selubung misteri yang bikin penasaran. Penonton diarahkan untuk mengira asal-usul boneka Brahms serupa dengan tema-tema film horor sejenis. Dengan alur yang tergolong lambat dalam menghadirkan gelaran jump scare dan pengembangan cerita dalam membuka selubung misterinya, The Boy tampak seperti just another average horror movie. Jika hendak di-rate kadar thrill-nya pun masih tergolong di bawah rata-rata. Kemudian cerita mulai bergerak ketika Greta mulai ‘berdamai’ dengan boneka Brahms. Arah cerita yang sudah diterka-terka penonton sejak awal sedikit terbengkokkan menjadi semacam thriller psikologis ketimbang horor. Fokus cerita sedikit melenceng ke karakter personal Greta ketika memasuki babak keduanya. Memang masih relevan dengan babak berikutnya, tapi turnover ini tidak terasa berjalan mulus. Ketika masuk ke babak tiga, arah cerita benar-benar di-twist sedemikian rupa sehingga bisa menimbulkan reaksi yang berbeda dari tiap penonton. Ada yang menyukainya karena terasa fresh, tapi tak sedikit pula yang kecewa karena terkesan mengada-ada. Dengan naskah yang tergolong jauh dari rapi untuk twist yang demikian dan seringkali bertele-tele pula, tiap turnover-nya memang terasa kasar. Dengan tangkapan spontan, kesemuanya terasa ganjil untuk dicerna. Setelah dianalisis lebih lanjut pasca menonton, mungkin akan terasa ‘lebih bisa diterima’ meski tetap saja menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Membuka peluang untuk sekuel dan dijadikan franchise? Mungkin saja.
Lauren Cohan agaknya memang cocok untuk peran di film horor. Sebagai lead ia menampilkan semua pesona yang diperlukan untuk menarik simpati penonton. Tak terlalu istimewa memang, tapi beban lead character mampu dilakoninya dengan baik. Rupert Evans yang pernah kita lihat di Hellboy pun membangun chemistry yang cukup meyakinkan dengan Cohan. Jim Norton dan Diana Hardcastle sebagai pasangan Heelshire juga berhasil menampilkan nuansa misterius sekaligus depresif pada karakter yang diperankan.
Desain produksi dan pemilihan musik klasik untuk mengiringi film terasa paling mendukung nuansa seram The Boy. Tata suara turut pula membangun nuansa dengan bass yang terdengar mantap, detail sound effect yang jernih sekaligus renyah dengan pembagian kanal surround yang dimanfaatkan secara efektif. Above all, sinematografi Daniel Pearl yang terasa sekali menonjol lewat angle-angle dan pergerakan cantik. Bahkan bukan tidak mungkin kepentingan keindahan sinematografi ini yang membuat alur The Boy menjadi terkesan lambat.
Secara garis besar, The Boy mungkin just another horror movie with a doll as subject. Effort untuk membuat sesuatu yang berbeda, terutama lewat secret revealing yang cukup signifikan, patut dihargai. Meski pada hasil akhirnya masih belum berhasil menyatu dengan mulus. So nikmati saja The Boy sebagai film horor ringan biasa tanpa ekspektasi apa-apa. It’s still entertaining, although you may will not remember every details in the movie.
Lihat data film ini di IMDb.
0 Response to "The Jose Flash Review The Boy"