Selama ini Screenplay Production dikenal lewat produk-produk sinetron dan terutama sekali, FTV yang ditayangkan di stasiun TV nasional, SCTV dan Indosiar. Berdiri sejak 2010, produksi FTV yang masif membuat produk-produk mereka menjadi simbol perwakilan dari kualitas FTV secara keseluruhan di pertelevisian Indonesia. Meski jika mau dianalisis, tiap produksi FTV-nya punya formula yang sama persis, dengan modifikasi sedikit-sedikit di sana-sini. Namun tidak bisa dipungkiri, berhasil menjaring penonton dengan jumlah yang masif pula. Tak hanya itu, jargon-jargon gaul anak muda Indonesia kebanyakan juga lahir dari produk-produk mereka. Seperti baper, gagal move on, dan sejenisnya. Tahun 2015 lalu, Screenplay Production berani mencoba bermain di layar lebar dengan formula yang tak jauh berbeda, tapi dengan production value yang ‘disesuaikan’. Lahirlah Magic Hour yang secara mengejutkan berhasil membukukan angka 859.705 penonton. Tentu kesuksesan ini tak lepas dari fans FTV-FTV produksi mereka yang memang banyak, termasuk dua bintang terbesarnya yang diboyong, Dimas Anggara dan Michelle Ziudith. Ingin mengulang sukses yang sama, awal tahun 2016 menjelang Valentine’s Day, Screenplay Production kembali menyatukan cast utama dan kru inti dalam produksi kedua yang skalanya lebih besar serta diharapkan mampu mencetak angka yang lebih besar pula, London Love Story(LLS). Seperti judulnya, LLS memang melakukan syuting di London sebagai salah satu bentuk peningkatan production value yang ditawarkan.
Cerita dibuka dengan Caramel dam Dave yang berjanji di bawah matahari tenggelam untuk selalu saling mencintai. Gelang karet bertuliskan ‘I Promise’ menjadi simbolnya. Bertahun-tahun kemudian ternyata keduanya menjalani hidup sendiri-sendiri dan terpisah. Caramel melanjutkan kuliah sambil kerja part time di London. Siapa sangka sebenarnya Dave juga tinggal di London untuk berkuliah. Caramel didekati oleh Bima yang bersahabat dengan Adelle, gadis muda yang mengejar cinta sampai London tapi ternyata tidak jelas keberadaannya. Ketika hampir menjatuhkan diri di London Bridge, Adelle diselamatkan oleh Dave yang akhirnya menawarkan tinggal sementara di apertemennya. Dari sini Adelle baru menyadari bahwa Dave belum bisa move on dari cinta lamanya beberapa tahun lalu yang tak lain dan tak bukan adalah Caramel. Siasat mempertemukan mereka berdua kembali ternyata tidak berjalan mulus. Sebuah kesalah-pahaman di masa lalu membuat Caramel terlanjur sakit hati dan memilih untuk membenci Dave.
Plot LLS mungkin memang super ringan dan dihiasi cukup banyak kebetulan a la sinetron. Tak jadi masalah sebenarnya jika memang ditampilkan dengan alur yang mengalir lancar dan didukung teknis yang mumpuni pula. I have to admit, LLS memang cheesy luar biasa, tapi saya masih bisa menikmatinya berkat eye candy factor yang tak hanya datang dari setting kota London, tapi juga desain produksi, terutama desain kostum. Penggambaran kehidupan para karakter yang wild, young, and free juga menjadi pembangun mood yang lebih menyenangkan, meski nantinya lebih banyak ‘galau’. Efeknya, meski diwarnai kegalauan di sana-sini, LLS masih menjadi paket hiburan yang cukup enjoyable.
Yang mengganjal saya adalah dialog yang somehow mengganggu. Pertama, dialog-dialog cheesy tentang asmara yang super dangkal tapi berusaha dibungkus dengan kalimat-kalimat yang quotable. Coba Anda hitung ada berapa kali kata ‘terkadang’ sepanjang film, semengasyikkan menghitung f-word dalam sebuah film Hollywood berating R. Kedua, LLS memposisikan karakter-karakternya, terutama Caramel, seperti gadis remaja labil (yang sedihnya, memang merepresentasikan kebanyakan gadis remaja saat ini) yang tak hanya bikin saya gemes dan ingin menamparnya, tapi dampak ekstrimnya bisa sangat berbahaya. Saya benci ketika para remaja galau soal asmara sampai bawa-bawa kematian. “Aku berharap mati sebelum ketemu kamu yang akhirnya hanya menyakiti aku?” Oh, please… watch your mouth! Beware of what’s coming out from your mouth, dear! Bayangkan jika pola pikir seekstrim ini termanifestasi pada semua gadis remaja generasi ini!
Untung saja pada akhirnya, setidaknya, LLS punya esensi yang cukup mengena agar para wanita tidak mudah menaruh curiga dan punya negative thinking mengikuti emosi yang tanpa alasan, sebelum benar-benar mengkonfirmasi kebenarannya. Penyesalannya bisa sampai bertahun-tahun lho. Ini esensi yang terdengar klise tapi harus diakui masih banyak terjadi pada wanita, tak peduli usia dan latar belakang budayanya. Sehari setelah nonton LLS, saya menemukan esensi serupa di film indie Hollywood, All Roads Lead to Rome yang dibintangi Sarah Jessica Parker. Bahkan 45 Yearsyang aktris utamanya, Charlotte Rampling dinominasikan di ajang Oscar tahun 2016 ini, juga mengangkat isu yang senada. Ini bukti bahwa isu ini universal bagi kebanyakan wanita. So yes, in this case, setidaknya LLS masih menyampaikan nilai positif yang patut saya hargai di balik segala ke-cheesy-an-nya. Toh ke-cheesy-an ini masih tetap berhasil menghipnotis target audience utamanya, para gadis remaja, yang berkali-kali eargasm dengan dialog-dialog quotable yang bertebaran di mana-mana.
Tak ada pemeran yang benar-benar tampil luar biasa di sini, toh LLS juga tidak membutuhkan kemampuan akting yang terlalu mumpuni untuk membangun ceritanya. Kendati demikian, Michelle Ziudith dengan aura kecantikan fisiknya jelas menjadi sorotan utama sepanjang film. Dimas Anggara juga mengimbanginya dengan kharismatik yang lebih dari cukup untuk menghidupkan lead actor.
Di jajaran cast pendukung, Adila Fitri sebagai Adelle juga punya kecantikan fisik yang mampu manfatkan dengan cukup maksimal sehingga tampak bersinar. Dion Wiyoko yang asmaranya (lagi-lagi) harus mengalah, memerankan karakter Bimo yang di sini terasa lebih berhasil mengundang simpati penonton ketimbang peran serupa di Sunshine Becomes You beberapa waktu lalu. Ramzi sedikit berkontribusi untuk menyegarkan nuansa LLS menjadi lebih ceria. Sedangkan Aaron Ashab, Yunita Siregar, dan Ina Marinka, melengkapi eye candy factor LLS.
Tak ada yang benar-benar istimewa di teknis, tapi tetap saja kerapian dan kemumpunian teknis yang memang niat, sedikit banyak mempengaruhi kualitas dan kenyamanan menyaksikan LLS secara keseluruhan. Sinematografi Rama Hermawan cukup apik membingkai setting-setting cantik kota London dan interiornya hingga tampak maksimal. Pergerakan kameranya juga smooth dan efektif dalam bercerita sekaligus memberikan efek sinematis pada keseluruhan feel. Editing Wawan I Wibowo juga terasa dinamis dalam bercerita dan menangkap youth spirit-nya, tanpa ada efek-efek berlebihan khas sinetron atau FTV. Khikmawan Santosa, seperti biasa, bisa menjaga keseimbangan yang pas antara dialog yang jernih dan score yang efektif. Terakhir, jangan lupa theme song dibawakan Percayalah hasil kolaborasi Raisa dan Afgan jelas menjadi salah satu gimmick yang bakal melejit dari LLS.
In the end, LLS memang sajian corny dan cheesy yang sudah punya target audience tersendiri yang jumlahnya tidak sedikit: penggemar FTV produksi Screenplay. Daur ulang formula berkali-kali, tetap saja bisa menarik target audience-nya. Apalagi soal urusan membuat para gadis remaja multiple eargasm lewat dialog-dialog quotable cheesy-nya. Jika Anda termasuk yang familiar, LLS mungkin jadi sajian yang menghibur. Namun jika tidak, tak perlu juga nekad nonton hanya untuk mengeluh pada akhirnya. As for me, meski berkali-kali membuat saya ingin menampar karakter-karakternya gara-gara line yang diucapkan, saya masih mengakui LLS enjoyable berkat segala elemen eye-candy-nya. Pun juga esensi cerita yang ternyata akur dengan pendapat saya pribadi.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
0 Response to "The Jose Flash Review London Love Story"