Apa yang paling banyak dibicarakan di perhelatan Oscar 2016? Dengan mudah jawabannya adalah kans aktor Leonardo DiCaprio untuk akhirnya memenangkan piala Oscar setelah 1 kali dinominasikan untuk kategori Best Actor in a Supporting Role (What’s Eating Gilbert Grape tahun 1993) dan 3 kali di kategori Best Actor in a Leading Role (The Aviator tahun 2004, Blood Diamond tahun 2006, dan The Wolf of Wall Street tahun 2013), tanpa pernah menang satu pun. Padahal pilihan film yang dimainkannya pun tergolong bergengsi dan kaliber Oscar, seperti Marvin’s Room, Gangs of New York, Catch Me If You Can, The Departed, Revolutionary Road, dan tentu saja yang paling fenomenal, Titanic. Maka tak salah jika sekali ini dengan arahan sutradara yang tahun lalu menang Oscar lewat Birdman or (The Unexpected Virtue of Ignorance), Alejandro González Iñárritu, Leo berharap banyak benar-benar membawa pulang piala Oscar. Iñárritu sendiri punya track record yang menarik dengan tema yang beragam tapi dengan style penceritaan yang bold dan powerful, sejak Amores Perros, 21 Grams, Babel, Biutiful, dan Birdman. Kembali menggandeng sinematografer langganan yang seperti sudah sangat sevisi dengannya, Emmanuel Lubezki, dan production designer langganan Terrence Malick, Jack Fisk, The Revenant menjanjikan pengalaman visual yang sepowerful penyutradaraannya.
Diangkata dari kisah nyata, The Revenant bersetting di hutan belantara Amerika Serikat tahun 1820, dimana perseteruan antar suku Indian dan kulit putih masih sering terjadi. Sekelompok pemburu bulu binatang yang dipimpin oleh Kapten Andrew Henry. Hugh Glass, anggota yang paling paham lokasi hutan, terserang beruang yang membuatnya terluka parah. Melanjutkan perjalanan pulang dengan mengangkut Glass bukan pilihan yang bijak karena akan memperlambat perjalanan. Sementara suku Indian Arikara memburu mereka. Diputuskan Glass tetap tinggal di hutan dengan ditemani John Fitzgerald, Jim Bridger, dan putra Glass hasil hubungannya dengan seorang suku Indian, Hawk. Fitzgerald setuju menemani hanya karena iming-iming bayaran dari Henry ketika ia kembali ke peradaban nanti. Fitzgerald yang licik mencoba membunuh Glass dan Hawk, serta kabur bersama Bridger ke peradaban. Namun Glass selamat. Perlahan ia melanjutkan perjalanan sendiri sambil memulihkan keadaannya. Berbagai rintangan ia lalui untuk bertahan hidup. Ketika berhasil kembali ke peradaban, hanya ada satu tujuan di matanya: balas dendam.
Secara tertulis, The Revenant memang terlihat begitu sederhana. Namun tunggu dulu. Ini adalah film Iñárritu dengan visualisasi ala Lubezki. Jadi premise sesederhana itu bisa menjelma menjadi suguhan visualisasi yang powerful. Benar saja, sejak detik pertama, ia tak membuang-buang waktu untuk berbasa-basi. Perkenalan dengan karakter Hugh Glass dan timnya serta permusuhannya dengan John Fitzgerald menjadi highlight yang begitu kuat. Banyak long take yang membuat semua adegan yang dilakoni para aktor terasa begitu nyata. Tak terkecuali adegan penyerangan beruang yang jadi bahan pembicaraan di mana-mana itu. Rollercoaster perjuangan survival Hugh Glass terasa begitu mengalir, seringkali extremely brutal, emotionally powerful, dengan latar bak visual poet yang luar biasa indah oleh Lubezki, menjadikan durasi 156 menit tak terasa lama. It’s truly a breathtaking and hypnotizing cinematic experience.
Menghiasi plot survival dan balas dendam, Iñárritu, dibantu Mark L. Smith (Vacancy, The Hole, dan Martyrs), memasukkan aspek menarik lain ke dalam naskah, yaitu balas budi antar manusia yang mungkin tak dibayarkan langsung ke orang yang bersangkutan, tapi kepada orang lain lagi yang lebih membutuhkan. Lihat saja bagaimana Glass ditolong oleh seorang Indian asing, dan ia membalasnya dengan menolong Powaqa, putri kepala suku Indian Arikara, yang diculik oleh sekelompok pemburu asal Perancis. Sebagai balas budi, Glass urung dihabisi oleh suku Indian Arikara yang sebelumnya memburu dirinya. Berbagai quote dari karakter pendukung pun jadi bekal penting untuk mengembangkan karakter Glass secara keseluruhan, mulai tentang survival, balas dendam, hingga kematian. Fokus film terjaga, namun diperkaya oleh banyak aspek menarik, The Revenant terasa jauh lebih berisi dan bermakna ketimbang plot balas dendam biasa semata.
Ambisi Leo untuk menang piala Oscar kali ini memang bukan tanpa sebab. Leo benar-benar tampil all out di sini, melebihi effort yang dilakukan di film-film sebelumnya. Lihat saja semua ketahanan terhadap berbagai penderitaan sekaligus dendam kesumat lewat sorot matanya. Dengarkan juga segala emosi yang Glass rasakan lewat suaranya, termasuk suara paraunya setelah diserang oleh beruang. Bermain sebagai lawannya, Tom Hardy pun tampil tak kalah kuatnya. Mungkin memang bukan performa terbaik di filmografinya yang variatif dan sama kuatnya, tapi karakter Fitzgerald jelas terasa paling menonjol setelah Glass. Ekspresi wajah penuh amarah dan ketakutan begitu terpancar di balik raut wajah yang jelas-jelas villainous.
Di lini selanjutnya tampil tak kalah kuat dengan porsi masing-masing. Mulai Will Poulter yang juga terasa ‘naik kelas’ dari film-film sebelumnya lewat karakter Bridger, Domhnall Gleeson sebagai Captain Andrew Henry menunjukkan kharisma pemimpin yang tetap terasa meski porsinya tak banyak. Cast Indian Forrest Goodluck sebagai Hawk dan Melaw Nakehk’o sebagai Powaqa turut mendukung dengan performa yang sama kuat.
Selain sinematografi Lubezki yang membuat visualisasi The Revenant bak visual poet brutal, realistik, namun indah, desain produksi Jack Fisk jadi salah satu elemen terpenting untuk mendukung nuansa serta cerita film secara keseluruhan. Effort yang hanya mengandalkan pencahayaan alami sehingga membuat proses syutingnya lama dan juga pemilihan lokasi hutan dari British Columbia, Kanada, Montana, hingga Argentina, tentu patut mendapatkan apresiasi lebih. Apresiasi berikutnya untuk visual effect yang berhasil menghidupkan sang beruang dengan teknologi motion capture dengan begiu realistik hingga terasa keganasan serta kengeriannya. Mengalami visualnya di layar terbesar mungkin (karena versi IMAX-nya tidak masuk Indonesia, maka Sphere-X bisa jadi alternatif paling maksimal), The Revenant tampak begitu indah dan megah.
Editing Stephen Mirrione berhasil bersinergi dengan sinematografi Lubezki menjadi kesatuan film yang sangat mengalir. Kadang tenang, kadang dinamis, semuanya tertata dengan serba pas. Tata suara menghadirkan detail suara serta pembagian kanal surround yang luar biasa. Dengarkan saja suara aliran air di kanal rear dan panning suara dialog seiring dengan panning kamera cepat tanpa cut. Terakhir, scoring Carsten Nicolai dan Ryuichi Sakamoto yang eksperimental terdengar unik dan begitu emosional. Tak ketinggalan sedikit elemen score drum yang mengingatkan saya akan score Antonio Sanchez di Birdman.
Bagi Anda yang merasa cocok dengan kepiawaian penceritaan Iñárritu dan visualisasi Lubezki, tentu The Revenant adalah film yang pantang dilewatkan di layar sebesar-besarnya dan tata suara terbaik. Sisanya, nikmati pengalaman survival yang benar-benar brutal bin realistik di alam liar, bak turut merasakannya sendiri.
Lihat data film ini di IMDb.
The 88th Annual Academy Awards Nominees for:
- Best Motion Picture of the Year
- Best Performance by an Actor in a Leading Role - Leonardo DiCaprio
- Best Performance by an Actor in a Supporting Role - Tom Hardy
- Best Achievement in Directing - Alejandro González Iñárritu
- Best Achievement in Cinematography - Emmanuel Lubezki
- Best Achievement in Film Editing- Stephen Mirrione
- Best Achievement in Costume Design - Jacqueline West
- Best Achievement in Makeup and Hairstyling - Sian Grigg, Duncan Jarman, and Robert A. Pandini
- Best Achievement in Sound Mixing- Jon Taylor, Frank A. Montaño, Randy Thom, and Chris Duesterdiek
- Best Achievement in Sound Editing- Martín Hernández and Lon Bender
- Best Achievement in Visual Effects - Richard McBride, Matt Shumway, Jason Smith, Cameron Waldbauer
- Best Achievement in Production Design - Jack Fisk (production design) and Hamish Purdy (set decoration)
0 Response to "The Jose Flash Review The Revenant"