Sebagai salah satu studio animasi terbesar yang punya sejarah panjang, Walt Disney Animation Studios (WDAS) tak pernah berhenti berkreasi, seiring dengan sister-division-nya yang juga produktif, Pixar. Bedanya, jika Pixar lebih suka memproduksi animasi-animasi bertemakan lebih berat dan lebih bisa dinikmati penonton dewasa ketimbang anak-anak, WDAS masih fokus untuk membidik range penonton yang lebih luas. Setelah Big Hero 6 tahun 2014 lalu, WDAS mempersiapkan karya terbarunya, Zootopia. Kembali mengusung konsep fabel, tapi kali ini dengan skala yang jauh lebih besar dan detail. Bahkan jauh lebih besar daripada Madagascar yang pernah dibuat oleh DreamWorks Animation. Ditangani Byron Howard (Bolt, Tangled) dan Rich Moore (Wreck It Ralph) serta tim-tim yang sudah berpengalaman di WDAS, Zootopiakembali membidik audience anak-anak tapi masih bisa dinikmati oleh penonton dewasa lewat mashup konsep ceritanya.
Alkisah di masa depan, binatang-binatang buas dan jinak bisa hidup berdampingan dengan selaras. Para predator pun bisa mengontrol naluri buasnya. Kesemuanya tinggal di sebuah gambaran tata kota utopia yang serba teratur. Bahkan binatang-binatang berukuran besar dan kecil punya fasilitas sendiri-sendiri. Sayangnya, tidak sepenuhnya spesies apapun bisa menjadi apapun. Itulah yang membuat Judy Hopps, seekor kelinci wanita bertekad menjadi kelinci pertama yang berprofesi sebagai polisi. Padahal secara postur dan kekuatan, selama ini kelinci tidak memungkinkan menjadi polisi. Setelah berhasil pun Judy harus membuktikan diri bahwa dirinya punya kredibilitas lebih ketimbang menjadi seorang petugas tilang parkir semata. Kesempatan muncul ketika kasus hilangnya binatang menghantui Zootopia. Judy menawarkan diri menginvestigasi kasus hilangnya Mr. Otterton, seekor berang-berang. Dengan bantuan rubah penipu, Nick Wilde, Judy harus bisa memecahkan kasus ini dalam 48 jam atau karirnya sebagai polisi berakhir. Investigasi pun dimulai. Tak hanya Judy mengalami petualangan seru ke berbagai penjuru kota, tapi juga mengenal Nick Wilde lebih dalam yang akan mengubah pola pikirnya.
Pada permukaan luar, Zootopia menawarkan sebuah komedi buddy-cop dengan bumbu investigasi ala neo-noir. Tentu saja kesemuanya dengan kemasan kartun fabel yang bisa dengan mudah dinikmati dan dipahami oleh penonton anak-anak sekalipun (Ini fakta bahwa anak-anak, terutama balita, lebih menyukai karakter binatang ketimbang manusia). Di lapisan yang lebih dalam, Zootopiamenyelipkan tema diversity dan prejudice yang terasa cukup kuat, tapi mampu blended dalam cerita utama dengan sangat halus. Ini saya rasa cukup penting sebagai metode penanaman pola pikir positif secara tidak sadar (dan tidak menggurui) kepada anak-anak. Untuk penonton yang lebih dewasa, ia seperti mengajak penonton untuk berkaca: ketika kita sering berkoar-koar tentang prejudice, tapi sebenarnya kita sendiri secara tak sadar juga sering melakukannya.
Tak ketinggalan adegan-adegan bak spoof dari banyak pop culture yang bisa menarik perhatian penonton lebih dewasa. Terutama sekali spoof The Godfatherdan berbagai brand populer yang dengan mudah menjadi remarkable bagi penonton. Babak ketiga dari cerita terkesan sedikit bertele-tele, akibat dari fokus investigasi yang harus berpadu dengan sub-plot pribadi Judy, tapi akhirnya berhasil ditutup dengan sangat memuaskan.
Mengisi karakter utama, Ginnifer Goodwin berhasil menghidupkan karakter Judy Hopps dengan cukup baik. Enthusiastic, energetic, positive thinker, tapi juga terkadang bisa merasakan kejatuhan secara manusiawi. Chemistry yang dibangunnya bersama Jason Bateman, pengisi suara Nick, juga terjalin dengan luwes dan menjadikan buddy-cop yang berinteraksi dengan sangat menarik. Sisanya, nama-nama populer seperti J.K. Simmons sebagai Mayor Lionheart, Octavia Spencer sebagai Mrs. Otterton, Alan Tudyk sebagai Duke Weaselton, Idris Elba sebagai Chief Bogo, Tommy Chong sebagai Yax, Jenny Slate sebagai Bellweather, hingga Shakira sebagai diva Gazelle, cukup menyemarakkan cerita dengan lively. Namun tentu saja yang paling berkesan adalah Maurice LaMarche, pengisi suara Mr. Big, yang bisa dengan sangat baik dan menggelitik melakukan impersonasi karakter Don Vito Corleone dari The Godfather.
WDAS tak perlu diragukan lagi soal kualitas animasinya. Berhasil menjaga keseimbangan antara tampilan realistis dan karikatur, ia tak hanya berhasil mendesain karakter-karakter yang memorable, tapi juga keseluruhan konsep kota. Mulai detail prasarana fasilitas kota mumpuni sampai latar alam yang luar biasa cantik dan memanjakan mata. Sayang, gimmick 3D yang ditawarkan tidak memberikan banyak nilai tambahan. Depth effect maupun pop-out-nya terasa biasa saja.
Tata suara digarap dengan sangat maksimal. Detail-detail sound effect, deep bass yang terdengar mantap tapi dengan punya tingkat clarity dan crisp yang tinggi, sampai pembagian kanal surround yang dimanfaatkan maksimal untuk menghidupkan adegan-adegan serunya. Terakhir, scoring Michael Giacchino yang berhasil memberikan kesan-kesan investigatif tanpa kehilangan kesan fun dan karikatur.
Zootopia semakin menguatkan posisi WDAS sebagai produsen animasi berkualitas. Tak hanya lewat inovasi-inovasi visual atau kemasan yang menghibur dengan range usia luas, yang artinya tidak sekedar aman, namun sekaligus bisa dinikmati dengan maksimal oleh penonton anak-anak, tapi juga content positif yang relevan di budaya manapun dan generasi manapun. Sebuah keseimbangan yang mampu dijaga dengan sangat baik oleh WDAS. Sayang untuk dilewatkan begitu saja bersama seluruh anggota keluarga.
Lihat data film ini di IMDb.
0 Response to "The Jose Flash Review Zootopia"