Yesus Kristus adalah salah satu figur reliji terbesar yang pernah ada di dunia, dan tentu saja bagi umat Kristiani, Ia adalah figur terpenting. Karena ‘terikat’ sebagai bagian dari iman agama besar, kisah Yesus tidak bisa sembarangan diangkat ke layar lebar. Bible atau Injil yang menjadi sumber utama lebih sering dipakai jika berniat ‘main aman’. Namun lama-kelamaan muncul kejenuhan juga jika terus-terusan mengangkat pure-Biblical. Maka novel fiksi yang mencoba mengangkat kisah hidup Yesus lewat kacamata yang berbeda-beda dilirik. Martin Scorsese tahun 1988 pernah mengangkat novel The Last Temptation of the Christ karya Nikos Kazantzakis ke layar lebar dan menjadi kontroversi besar. Tahun 2016 ini, satu lagi salah satu episode hidup Yesus yang coba diangkat ke layar lebar. Diangkat dari novel fiksi Christ the Lord: Out of Egypt, karya Anne Rice, yang kita kenal sebagai penulis novel seri The Vampire Chronicles dan pernah diangkat ke layar lebar lewat Interview with the Vampire dan Queen of the Damned. Novel itu pun punya sekuel berjudul Christ the Lord: The Road to Cana, dan yang belum pernah dipublikasikan, The Kingdom of Heaven. Uniknya, Anne menulis trilogi ini setelah menyatakan memeluk Katolik, tapi pada akhirnya memutuskan untuk menjaga jarak dengan organisasi Kristen karena ketidak setujuannya dengan pernyataan Gereja tentang berbagai isu sosial. Meski akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang humanis sekuler, Anne mengaku tetap menaruh iman kepada Tuhan.
Produksi film yang lantas diberi judul The Young Messiah (TYM) ini hasil kerjasama beberapa rumah produksi, antara lain 1492 Pictures milik Chris Columbus (Home Alone, franchise Harry Potter), Ocean Blue Entertainment, Hyde Park Entertainment milik Ashok Amritraj (produser film-film erotis macam franchise Night Eyes dan terkahir, Careful What You Wish For), dan CJ Entertainment asal Korea Selatan. Digarap oleh sineas keturunan Iran, Cyrus Nowrasteh, yang dikenal lewat The Stoning of Soraya M., dibantu sang istri, Betsy Giffen Nowrasteh.
TYM dibuka ketika Yosef dan Maria memilih untuk pindah ke Alexandria, Mesir, setelah Kaisar Herodes mengutus membunuh semua bayi berusia di bawah 1 tahun di Israel. Yesus yang berusia 7 tahun tak sengaja membuat keributan sehingga mereka memutuskan untuk kembali ke Israel. Apalagi setelah kematian Kaisar Herodes, mereka berpikir kondisi sudah lebih aman untuk kembali ke kota asal mereka, Nazareth. Yesus sendiri bingung dengan identitas diri dan kondisi dirinya, sementara kedua orang tuanya enggan menjelaskan. Punya kemampuan untuk membuat mukjizat seperti membangkitkan orang mati dan pengetahuan-pengetahuan tentang ilahi yang mencengangkan para Rabbi. Sementara itu putra Herodes yang kini menggantikan tahta sang ayah yang mendengar kabar kembalinya keluarga Yesus ke tanah Israel, mengutus panglima perang, Severus, untuk memburu Yesus.
Jika Anda (benar-benar) seorang Kristiani, tentu tahu bahwa fase terpenting dalam hidup Yesus adalah menjelang kematian dan kebangkitan-Nya yang dianggap sebagai karya penebusan dan keselamatan semua umat manusia, sekaligus menjadi inti ajaran Kristiani. Tak heran jika kemudian fase ini menjadi yang paling sering diangkat ke berbagai medium. Bahkan Passion of the Christdari Mel Gibson yang kontroversial beberapa tahun lalu dikritik lebih mengeksploitasi sisi kekerasan dan penderitaan Yesus, bukan kebangkitan yang menjadi bagian paling penting dari karya penebusan. Keputusan mengangkat fase Yesus kecil jelas menjadi keputusan yang dianggap berani. Pertama, fase ini tak banyak terdapat di Injil sehingga memungkinkan timbulnya kontroversi dari kaum fundamentalis yang mungkin saja menuding sesat dan semacamnya. Kedua, tak banyak kejadian penting di fase ini selain kebimbangan Yesus mencari jawaban atas dirinya sendiri, which is di sini sebenarnya tak butuh durasi sepanjang 1 film layar lebar juga. Maka tak heran jika secara keseluruhan TYM mengalami kendala dalam laju cerita yang tak banyak bergerak maju. Pertanyaan-pertanyaan dari kegundahan Yesus kecil pun tak sepenuhnya terjawab.
Tak heran jika kemudian dimasukkan sub-plot tentang pengejaran oleh putra Herodes melalui Severus kepada keluarga Yesus untum sedikit ‘menghias’ film. Namun bukan berarti TYM tidak menawarkan sesuatu yang substansial dan menarik untuk dibahas (atau setidaknya, direnungkan). Terutama bagi penonton yang paham dengan ajaran Kristiani dan konsep turunnya Yesus ke dunia, tentu TYM menjadi sebuah kajian yang menarik tanpa harus terkesan sesat. Bagaimana rasanya menjadi Yesus yang selama ini kita kenal sebagai Juru Selamat juga pernah mengalami pergulatan iman ketika belum menyadari tujuan hidup yang sebenarnya. Selain dari itu, beberapa trivia tentang kisah Yesus yang mungkin selama ini sempat kita pertanyakan dalam benak menjadi faktor menarik lainnya untuk menambah wawasan. Meski tak sepenuhnya bisa dipercaya (bahkan ada adegan Yesus membuat mukjizat ketika masih kecil, padahal kita semua tahu Yesus melakukan mukjizat pertamanya ketika dewasa), setidaknya juga tidak asal-asalan muncul.
Tidak ada yang benar-benar istimewa dari penampilan para aktornya, tapi juga tak tampil buruk. Adam Greaves-Neal sebagai Yesus cukup hidup dalam menunjukkan kegelisahan seorang anak kecil berusia 7 tahun. Vincent Walsh dan Sara Lazzaro sebagai Yosef-Maria di balik screen presence yang tak terlalu banyak dan penting, memberikan performa yang cukup convincing. Spotlight utama tentu saja Sean Bean sebagai Severus yang notabene aktor paling populer dibandingkan jajaran cast lain. Tak terlalu istimewa, tapi Bean berhasil mencuri perhatian berkat kharisma bintangnya yang memang tak mudah pudar begitu saja. Jonathan Bailey sebagai putra Herodes dan Rory Keenan sebagai Setan menjadi penampilan favorit saya sepanjang film. Terakhir, Jane Lapotaire sebagai Sarah, juga mencuri perhatian saya. Dengan screen presence yang terbatas, kekuatan akting dan kharismanya bisa dengan mudah membekas dalam benak saya.
Di teknis pun tak juga ada yang benar-benar istimewa atau remarkable. Sinematografi Joel Ransom cukup jelas membingkai plot, didukung editing Geoffrey Rowland yang terasa serba pas. Desain produksi Francesco Frigeri yang menyulap Matera, Italia, menjadi Nazaret lebih dari cukup untuk terlihat otentik. Scoring dari John Debney lebih dari cukup untuk menjadikan TYM terasa berkelas sekaligus menghantar emosi adegan.
TYM sejatinya memang bukan film Biblical yang sengaja dibuat se-epic Passion of the Christ, King of Kings, atau sejenisnya. Dari materi cerita yang diangkat pun sebenarnya sudah bisa dilihat skala ceritanya, just a beginning story or a side-story. So bagi yang memahami kisah Yesus Kristus dan konsep keilahiannya, TYM masih bisa menjadi sajian yang menarik untuk dibahas dan direnungkan. Sebaliknya, bagi yang non-Kristiani atau yang tidak terlalu familiar dengan konsep ke-Tuhanan Yesus sesungguhnya, TYM bisa jadi tontonan yang membosankan dan tidak jelas.
0 Response to "The Jose Flash Review The Young Messiah"