Latest News

The Jose Flash Review Eye in the Sky


Film bertemakan perang atau penyergapan pelaku teroris dengan pendekatan humanity dan moral dilemma sudah sangat sering diangkat. Malah pendekatan ini justru menjadi formula supaya filmnya dianggap berbobot di mata kritikus dan penonton umum. Terakhir, kita disuguhi 13 Hours: The Secret Soldier of Benghazi dari Michael Bay. Sebenarnya ada film Inggris yang hype-nya tidak terlalu hingar bingar dengan promo yang terkesan minim, tapi punya angle yang menarik tentang penyerangan pelaku teroris. Berbeda dengan kebanyakan tema perang/penyergapan teroris yang berdasarkan kejadian nyata, Eye in the Sky (EitS) justru memilih menjadi film fiksi. Toh, yang menjadi highlight bukanlah kejadiannya, tapi proses yang penuh perhitungan dan pertimbangan di balik suatu kejadian. Naskahnya ditulis oleh Guy Hibbert (Five Minutes of Heaven) dan disutradarai Gavin Hood (X-Men Origins: Wolverine dan Ender’s Game), EitS menjadi film terakhir dari mendiang aktor Alan Rickman.

Sebuah operasi penyergapan komplotan teroris di Kenya dikepalai oleh Kolonel Katherine Powell akhirnya menemukan sarang teroris lewat sebuah drone. Setelah melalui pertimbangan dan kalkulasi, mereka sebenarnya punya otorasi untuk langsung meledakkan sasaran. Mendadak muncul seorang anak perempuan yang menggelar dagangan rotinya tepat di depan lokasi sasaran. Tiap divisi pun bimbang akan terus menjalankan misi atau menunggu. Tak hanya sampai ke Kolonel Katherine Powell, tapi juga melibatkan Jendral Frank Benson, staf kementrian Inggris, sekretaris asing Inggris, bahkan Sekretaris Negara Amerika Serikat, yang kesemuanya saling ping-pong dan ‘cuci tangan’. Berbagai hukum dan pertimbangan dampak internasional mereka kaji sebagai penentu tetap berjalannya misi atau tidak. Sementara di dalam rumah sasaran, para pelaku sudah siap melancarkan aksi dengan rompi peledak. Time is running out, waiting for critical decision.

Berbeda dengan film-film bertemakan perang atau penyergapan teroris biasanya, EitS tidak mengumbar adegan konfrontasi terang-terangan. Sebagian besar justru berfokus pada dialog antar karakter di lokasi-lokasi berbeda membahas berbagai aspek hukum dan dampak. Kendati demikian, bukan berarti EitS jadi film politik serius yang membosankan. Gavin Hood berhasil menjadikan EitS sebuah thriller yang sangat gripping, mulai misi pengintaian dengan drone mini seukuran serangga, sampai detik-detik penentuan misi peledakan. Semua dengan pace yang sangat pas untuk membuat penonton geregetan dan was-was.

Namun di baliknya, kekuatan terbesar EitS yang menjadikannya tak sekedar another war/terrorism assault movies adalah naskah Hibbert yang memasukkan berbagai pertimbangan hukum, moral, dan dampak internasional yang mungkin terjadi sebagai dampak jika misi peledakan tetap dijalankan. Semuanya dirangkai sesuai koherensi antar adegan dan efek emosi penonton yang sesuai. Penonton awam sekalipun diajak berpikir betapa banyak dan rumit pertimbangan keputusan sebuah misi peledakan, tidak asal dijalankan. Bukan sekedar soal siapa yang benar atau salah, siapa yang patut disalahkan, atau dampaknya mending mana; memakan korban satu orang sipil tapi berhasil menyelamatkan kemungkinan korban lain yang jauh lebih banyak jika tak segera ditindak, atau sebaliknya. There is no truly safe option. Satu formula yang masih tergolong jarang di film sejenis yang mungkin hanya sejauh mengajak penonton ikut merasakan dilema moral atau dampak psikologis. Ini bukan berarti EitS mengabaikan dua aspek yang juga penting ini. Di momen yang pas EitS tetap menghadirkannya pula.

Jajaran karakter-karakter utama diisi oleh aktor-aktris senior yang tak perlu diragukan lagi kapasitas aktingnya. Hellen Mirren terkesan begitu powerful, tegas, tapi juga bisa menunjukkan kebimbangan sebagai Kolonel Katherine Powell. Almarhum Alan Rickman pun memberikan performa yang setara dengan Mirren sebagai Letnan Jendral Frank Benson. Aaron Paul sebagai Steve Watts yang bertugas sebagai pilot drone, dengan moral dan psychological dilemma yang begitu terlihat dan terasa dari ekspresi wajahnya. Sementara Barkhad Abdi yang dikenal lewat perannya di Captain Phillips yang mengganjarnya nominasi Oscar, mungkin porsinya tak cukup banyak dan tak cukup untuk mengundang simpati penonton, tapi tetap patut menerima kredit. Setidaknya dalam peran protagonis, meninggalkan image antagonis di film yang melambungkan namanya itu.

Nuansa ketegangan yang berhasil dihadirkan EitS tak luput dari peran sinematografi Haris Zambarloukos, terutama dalam mengarahkan kamera dari sudut pandang drone yang memberikan efek suspense maksimal untuk adegan-adegan pengintaian. Editing Megan Gill pun berperan sangat penting dalam menjaga pace yang tepat, tak terlalu lambat sehingga terkesan membosankan, pun juga membuat segala dilema dan pertimbangan terasa jelas bagi penonton awam sekalipun. Scoring Paul Hepker dan Mark Kilian tak terlalu dramatis ataupun megah, tapi lebih dari cukup untuk mengiringi momen-momen thrill maupun emosional menjadi terasa jauh lebih mendalam.

In term of war/terrorism assault themed movie, EitS jelas exceptional. Menghadirkan nuansa thriller dan emosional di balik tema yang lebih bersifat politis, tapi dengan penuturan yang jelas serta sederhana, EitS sangat menghibur sekaligus berbobot secara proporsional. Salah satu film wajib bagi penggemar tema sejenis, bahkan untuk penonton biasa.

Lihat data film ini di IMDb.

0 Response to "The Jose Flash Review Eye in the Sky"