Latest News

The Jose Flash Review Jenderal Soedirman

Sebagai negara yang punya catatan sejarah cukup panjang dan tokoh bersejarah yang penting, Indonesia sejatinya punya sangat banyak materi untuk diangkat ke medium film. Trend biopic sejarah beberapa tahun terakhir rupanya masih terus berlanjut meski penghasilannya tak begitu menggembirakan, apalagi jika dibandingkan budget yang jauh di atas rata-rata film genre lain. Di satu sisi film bertemakan sejarah dirasa penting dalam upaya mendokumentasikan sejarah sekaligus pass-on antar generasi. Namun di sisi lain, nyatanya film bertemakan sejarah tak banyak menarik perhatian penonton umum. Memang tak mudah membuat film sejarah. Selain riset yang tak bisa main-main supaya menghasilkan akurasi semaksimal mungkin, dan status 'film pesanan' yang mau tak mau hasilnya seolah punya agenda tersendiri, yang tak kalah susahnya adalah merangkai kesemuanya menjadi sajian yang tetap menghibur untuk penonton umum, termasuk yang mungkin belum pernah mengenal sang subjek. Film-film biopic yang dan Tjokroaminoto dibuat beberapa tahun terakhir, seperti Soekarno, mungkin punya akurasi yang cukup tinggi, terutama dari segi kronologis. Namun ‘porsi’ kronologis harus berimbas pada fokus cerita yang kemana-mana dan pada akhirnya kurang dalam sisi hiburannya. Pendekatan lain yang dicoba Garin Nugroho lewat Soegija dan Tjokroaminoto, namun pada akhirnya kehilangan jati diri sebagai biopic. Penonton lantas bertanya, jadi apa hebatnya atau apa peran tokoh utama yang dijadikan judul? Berangkat dari kasus-kasus tersebut, Viva Westi (Rayya, Cahaya di Atas Cahaya) bersama partnernya ketika mengerjakan naskah Ketika Bung di Ende dan Mursala, Tubagus Deddy, untuk mencoba menggabungkan berbagai kepentingan itu ke dalam biopic terbarunya, Jenderal Soedirman (JS), yang masih termasuk 'film pesanan'.

Pemilihan karakter Jenderal Soedirman sebenarnya lebih mudah untuk dijadikan sajian biopic yang menghibur. Tak seperti tokoh lain yang lebih berperan di meja perundingan, Jenderal Soedirman adalah sosok pemimpin yang langsung terjun ke medan perang gerilya. Setidaknya dengan porsi adegan perang yang cukup banyak, bisa menambah unsur hiburan dari biopic ini. Berbekal pengalaman ketika menggarap Ketika Bung di Ende yang juga memotret kejadian sejarah dengan kemasan menghibur, Westi ternyata memang berhasil memberi lebih banyak unsur hiburan lewat adegan-adegan perangnya yang well-made.

Dari segi naskah, Westi dan Deddy juga menggarapnya dengan fokus yang sangat terjaga. Tak hanya berpatokan pada kronologis kejadian sejarah, bahkan langsung memulai penceritaannya ketika Jenderal Soedirman memilih jalan perang gerilya untuk berjuang. Kalaupun ada sub-plot yang dimasukkan, seperti Tan Malaka dan Soekarno, tetap saja punya hubungan yang kuat pada karakter utamanya, yakni Jenderal Soedirman sendiri. Semua dialog Soekarno tetap membahas tentang sosok Jenderal Soedirman, dan kehadiran Tan Malaka menunjukkan kontras pemikiran dengan Jenderal Soedirman. Keuntungannya, penonton bisa dengan mudah dan lebih terfokus dalam mengenal sosok Jenderal Soedirman.

Namun bukan berarti dari naskah ini tak ada celahnya. Mengingat Jenderal Soedirman memimpin gerilyawan dalam kondisi sakit, maka tidak banyak pula sepak terjang secara langsung yang membuat penonton kagum pada sosoknya. Adegan perang lebih banyak menunjukkan sepak terjang anak buahnya, seperti Kapten Tjokropanolo alias Nolly, Aceng, Bisma, Hanum, Kunto, dan Kusno. Bahkan kepolosan dan kelucuan karakter Karsani yang sebenarnya ‘meminjam’ pendekatan yang pernah dilakukan Garin di Soegija dan Tjokroaminoto, lebih membekas dalam benak penonton. Taktik perang gerilya ala Jenderal Soedirman yang konon diklaim sebagai terbaik di dunia, pun cukup disampaikan dalam satu line narasi. Secara visual, penonton bakal lebih sering disajikan adegan kucing-kucingan dengan Belanda yang ternyata cukup mendebarkan, dan beberapa adegan konfrontasi terbuka. Beberapa jokes juga diselipkan, namun bukannya membantu menambah unsur hiburan, justru lebih terasa mengganggu di tengah-tengah nuansa perang yang menegangkan.

Keberhasilan film biopic tak lepas dari peran para aktor yang menghidupkan. Pemilihan cast Jenderal Soedirman di atas kertas, jujur saja, agak bikin mengernyitkan dahi. Selain diisi oleh aktor muda yang notabene lebih akrab dengan peran-peran roman, yang lebih diragukan adalah kharismanya sebagai tokoh-tokoh pejuang. Sebagai karakter utama, Adipati Dolken ternyata berhasil tampil lebih baik ketimbang di film-film roman yang biasa dilakoninya, bahkan lebih baik dari penampilannya di biopic Sang Kiai yang pernah menganugerahkannya Piala Citra. Namun yang tetap saja tak bisa dipungkiri adalah kharismanya sebagai seorang Jenderal yang memang jauh dari image Adipati sendiri. Tonal suaranya saja sudah menggambarkan kelemahan ini. Anyway, usaha Adipati untuk menghidupkan karakter sentral ini patut dihargai lebih.  Di jajaran pemeran pendukung teruama yang mengisi peran anak buah Jenderal Soedirman, selain Ibnu Jamil, sayangnya diisi oleh aktor-aktor tak dikenal yang juga kurang meyakinkan secara fisik dan kharisma. Sementara yang paling mencuri perhatian mungkin Gogot Suryanto sebagai Karsani yang seperti mengulang peran serupa di Soegija, namun tentu saja dengan porsi yang jauh lebih banyak.

Melanjutkan peran sebagai Soekarno di Ketika Bung di Ende, pemilihan Baim Wong juga tak kalah mengernyitkan dahi, setelah kita melihat sosok Ario Bayu yang jauh lebih layak di Soekarno. Pengisi karakter nyata lainnya, Mathias Muchus, sepeti biasa, powerful enough sebagai Tan Malaka.

Tanpa gembar-gembor proyek yang terlalu besar, ternyata teknis Jenderal Soedirman dikerjakan dengan sangat baik. Terutama sekali sinematografi Muhammad Firdaus yang membingkai adegan-adegan penting dengan turut mengeksploitasi latar yang tak kalah indahnya. Mulai kota Yogyakarta, hutan-hutan, hingga pegunungan di Sobo. Tata suara pun digarap dengan cukup maksimal meski hanya sebatas 5.1 channel, terutama sekali terdengar pada adegan-adegan perangnya. Score dari Iwang Noorsaid cukup berhasil mengiringi adegan-adegannya menjadi lebih bernyawa, tapi theme song Soedirman masih terdengar kurang powerful untuk tema perang seperti ini. Untuk visual effect masih tidak begitu merata. CGI pesawat tempur dan rudalnya terlihat sangat halus dan real, sementara masih cukup banyak adegan ledakan yang masih terlihat kasar.

Dengan berbagai upaya terbaik meski masih belum sempurna, Jenderal Soedirman setidaknya masih bisa jadi sajian yang cukup menghibur untuk sebuah film biopic. 

Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.

0 Response to "The Jose Flash Review Jenderal Soedirman"