Di antara film bertemakan force of nature, latar gunung termasuk jarang diangkat. Hal ini bisa dipahami karena gunung memang bukan medan yang mudah untuk dijadikan lokasi. Belum lagi persiapan yang tidak main-main, baik dari cast maupun kru yang terlibat. Yang paling saya ingat adalah Cliffhanger(1993) dan Vertical Limit (2000). Itupun Vertical Limit banyak melakukan pengambilan gambar di dalam studio. Tahun 2015 ini sutradara asal Eslandia, Baltasar Kormákur (Contraband, 2 Guns), ditunjuk untuk menggawangi proyek film petualangan mendaki puncak tertinggi di dunia, Mount Everest. Diangkat dari kisah nyata kejadian pendakian Mount Everest terburuk yang terjadi tahun 1996, naskahnya didasarkan pada banyak buku, termasuk Into Thin Air yang ditulis salah satu penyitasnya, Jon Krakauer, dan wawancara terhadap para penyitas lainnya, jelas Everest proyek yang tidak main-main. Apalagi dengan konsep cast ensamble yang mebuatnya dipenuhi bintang-bintang berkelas (meski tak semua yang benar-benar familiar bagi penonton umum di Indonesia) yang membuatnya semakin menarik.
Everest membidik cerita dari tim Adventure Consultants yang dipimpin oleh Rob Hall. Musim pendakian saat itu Rob membawa beberapa kliennya, seperti Beck Weathers, jutawan asal Texas, Doug Hansen yang seorang pengantar surat, dan the only lady in the group, Yasuko Namba, yang sudah menaklukkan 6 dari Seven Summits dan berniat melengkapinya dengan pendakian Mount Everest. Di tengah perjalanan, tim Adventure Consultants bertemu tim Mountain Madness yang dipimpin Scott Fischer. Karena cuaca yang tiba-tiba memburuk, kedua tim yang sempat bersaing ini memutuskan untuk mengesampingkan ego masing-masing dan bekerja sama dalam mencapai puncak. But still, force of nature tidak bisa dilawan. Di tengah badai yang terus memburuk, mereka harus berjuang untuk sekedar tetap hidup.
Mendasarkan cerita dari kisah nyata memang membatasi perkembangan plot. But hey, who needs unique plot dari film macam Everest? All we need is a breathtaking experience seolah ikut mendaki bersama para karakternya. Atau setidaknya, turut merasakan segala emosi yang dirasakan karakternya, mulai victory, ketakutan, sampai pedihnya kehilangan. Everest has it all, above its marvelous visual grandeur yang memang seolah membawa penonton turut mendaki puncak tertinggi dengan berbagai rintangan dan kendala yang tampak nyata. Sepanjang durasi yang sekitar 2 jam, penonton benar-benar diajak bertualang mendaki tiap spot menuju puncak, sambil mengenalkan karakter-karakter penting di dalamnya, dalam rangka menggali emosi yang cukup kelak. Namun nampaknya Kormákur tidak berniat lebih mengeksploitasi tiap potensi emosi dari adegan-adegan yang dimilikinya. Seperti adegan-adegan bencana yang memang masih membuat penonton khawatir dan deg-degan, but we know we can feel much breathtaking from those scenes. Atau karakter-karakter yang memang membuat kita menaruh simpati, tapi tidak sampai terlalu dalam merasakan kesedihan dari tiap kehilangan. Emosi serba tanggung yang dihadirkan Kormákur di sini lah yang membuat tak ada yang begitu istimewa dari Everest. Good, but we know it could have been much better.
Ensemble cast yang bahkan beberapa berkelas Oscar, mulai Jason Clarke, Josh Brolin, John Hawkes, Emily Watson, Jake Gylenhaal, Sam Worthington, Martin Henderson (masih ingat Torque?), Robin Wright, sampai Keira Knightley, menghiasi layar. Namun dengan porsi masing-masing yang memang tak begitu banyak, selain karakter utama Rob Hall (Jason Clarke) dan Beck Weathers (Josh Brolin), seolah seperti hanya sekedar gimmick yang menghiasi layar dan membuat penonton tertarik. Not bad, tapi kita tahu tanpa diperankan oleh mereka pun juga tidak akan menjadi masalah, selain tentu saja kita menjadi semakin mudah mengenali tiap karakternya karena familiar dengan aktor-aktris yang memerankan. Karakter Doug (John Hawkes) dan Yasuko (Naoko Mori) sebagai pendukung, diberi sedikit lebih banyak porsi, juga sedikit menarik simpati penonton, meski pada akhirnya kita bakal lebih peduli dengan karakter Rob. Sementara dari tim Mountain Mardness sama sekali tak punya porsi yang cukup untuk sekedar dikenal lebih dalam oleh penonton.
Kekuatan teknis terbesar Everest jelas terletak pada sinematografi Salvatore Totino yang tak hanya mampu meng-capture scenery-scenery indah pada dan dari Mount Everest, tapi juga menangkap ketegangan berbagai adegan breathtaking-nya. Setting yang tak sepenuhnya mengambil gambar di Mount Everest, seperti memanfaatkan Schalnstal, Italia, dan Pinewood Studio, Inggris, tapi tetap saja menyuguhkan pengalaman pendakian gunung yang seutuhnya. Sinematografi yang grandeur inilah yang membuatnya layak untuk disaksikan di layar berukuran sebesar-besarnya, termasuk IMAX, meski tidak menggunakan aspect ratio khas IMAX. Efek 3D yang ditawarkan memang memberikan depth yang cukup baik, terutama di awal-awal film (setelah itu biasa saja, mungkin faktor mata saya yang sudah mulai beradaptasi sehingga terkesan bisa saja), namun minim gimmick pop-out.
Keunggulan lainnya terletak pada sound effect yang begitu detail, termasuk dalam hal membagi kanal surround-nya. Suara angin badai, bongkahan es yang berjatuhan, sampai denting pengait pengaman, terdengar begitu nyata, crisp, dan crystal clear. Sayang score Dario Marianelli tergolong biasa saja, apalagi absen atau sangat minimalis pada adegan-adegan emosi potensialnya.
Everest memang menyuguhkan visual grandeur yang otomatis memberikan cinematic experience yang cukup maksimal, namun dalam menghadirkan emosi dan penanaman simpati penonton terhadap karakter-karakternya, ia terasa kepalang tanggung sehingga terkesan biasa saja. But still, sayang sekali untuk melewatkan Everest di layar selebar-lebarnya, dengan tata suara terbaik.
Lihat data film ini di IMDb.
0 Response to "The Jose Flash Review Everest"