Sudah sejak lama manusia memimpikan memiliki kehidupan abadi. Di ranah film, entah sudah berapa kali tema ini diangkat. Namun dengan scope sci-fi yang lebih ilmiah, masih termasuk belum banyak dibuat. Dengan keyakinan jiwa manusia itu abadi, manusia bisa menjadi immortal dengan terus-menerus ‘mengganti’ organ tubuhnya, seperti yang pernah digambarkan di The Island-nya Michael Bay atau bisa juga dengan kloning seperti yang digambarkan lewat The Sixth Day yang dibintangi Arnold Schwarzenegger. Dengan kepercayaan baru bahwa yang abadi adalah pikiran sebagai pusat kehidupan manusia, menjadi abadi sudah semakin dekat, setidaknya menurut film. Self/Less (S/L) yang disutradarai oleh sutradara visioner, Tarsem Singh, menawarkan ide itu. Tidak sepenuhnya baru, karena memang diakui sebagai remake dengan technology update dari Seconds-nya John Frankenheimer tahun 1966, namun tetap saja ide yang menarik, apalagi dengan kemasan action adventure.
Damian adalah bos real estate sukses yang sedang menderita kanker stadium akhir. Menyadari hidupnya tak lama lagi, namun tetap ingin berkarya dan masih merasa harus memperbaiki hubungan dengan putri satu-satunya, ia tertarik mengikuti sebuah prosedur medis rahasia yang membuatnya bisa mendapatkan tubuh fisik yang baru dan sehat. Sebagai ganjarannya, identitasnya yang lama harus dimatikan dan menjalani hidup dengan identitas baru. Serangkaian pengobatan lanjutan juga harus dijalaninya untuk meredam efek yang dianggap sebagai penyesuaian dengan tubuh yang baru. Namun Damian mendapati memori-memori buruk yang bukan dari memorinya. Maka Damian menyelidikinya dan mendapati fakta buruk dari prosedur yang dijalaninya.
Tarsem Singh selama ini dikenal sebagai salah satu sutradara dengan visi yang unik. Lihat saja karya-karyanya seperti The Cell, The Fall, Immortals, dan Mirror Mirror. Setidaknya Anda akan menemukan visual signatural, apalagi dengan dukungan desain kostum dari Eiko Ishioka yang menjadi langganannya. Sayang kematiannya di tahun 2012 menjadikan S/L sebagai proyek pertama Singh tanpa tangan dinginnya. Namun tentu saja sebenarnya bukan menjadi masalah bagi Singh karena ia masih punya signatural lainnya yang bisa memperkuat S/L.
Sayangnya, S/L bukan salah satu karya Singh yang kuat. Malah bisa jadi salah satu yang terburuk. S/L yang dikemas dengan genre action adventure bisa jadi escape adventure yang seru dan mendebarkan. Gara-gara weak directional Singh di sini, secara keseluruhan S/L tampak seperti action adventure biasa tanpa emosi yang kuat. Just plain action movie. Oke, saya menemukan dan menyukai rhythmic editing sesuai iringan lagu street Jazz ala New Orleans di salah satu adegan, tapi visual signatural itu saja yang menarik sepanjang film. Padahal S/L bisa saja setidaknya punya energi yang sama seperti The Bourne Trilogy, misalnya. Adegan yang seharusnya menjadi klimaks, yaitu ketika Damian head to head dengan Albright, kepala prosedur ‘shedding’, juga gagal untuk memberikan klimaks yang mengesankan. Aspek moral yang melibatkan emosinya dengan karakter Madeline dan Anna pun meski tampil menarik, masih tidak berhasil memberikan kontribusi apa-apa pada feel keseluruhan film.
Meski tak ada yang istimewa, aktor-aktris di sini sebenarnya termasuk tampil bagus sesuai porsi peran masing-masing. Ryan Reynolds masih menampilkan kharisma yang cukup sebagai karakter utama maupun action hero. Begitu juga Natalie Martinez yang mampu mengimbangi Ryan sebagai sidekick. Matthew Goode cukup kuat sebagai antagonis, sayang porsinya masih kurang untuk menjadikannya antagonis yang benar-benar kuat. Terakhir, tentu saja penampilan Ben Kingsley yang penuh kharisma mencuri perhatian, meski dengan porsi yang begitu sedikit.
Tak banyak yang begitu menarik dari segi teknis S/L selain editing di beberapa bagian yang setidaknya memberikan energi oke pada film. Sayang hanya beberapa, tak dipertahankan sepanjang film. Sinematografi Brendan Galvin pun cukup banyak memberikan shot-shot dan pergerakan kamera yang menarik, sayang masih belum mampu mendukung S/L menjadi sajian yang lebih berkesan. Begitu juga dengan tata suara yang tidak banyak yang mengesankan maupun spesial.
Dengan filmografi Tarsem Singh yang begitu mengesankan, S/L bisa jadi yang terburuk. Meski sebenarnya tanpa mengetahui dukungan orang-orang di belakangnya, S/L masih bisa jadi action adventure sci-fi yang setidaknya menarik dari segi ide. Sayang kemasan yang terasa begitu mentah dan tidak maksimal membuatnya jatuh menjadi action adventure sci-fi biasa, yang malah cenderung seperti film direct-to-video atau film TV. Namun jika Anda sekedar tertarik dengan ide ceritanya, tak ada salahnya mencoba. Hanya saja tentu tak perlu memasang ekspektasi apa-apa selain sekedar menikmati sajian yang dihadirkan Singh.
Lihat data film ini di IMDb.
0 Response to "The Jose Flash Review Self/Less"