Mungkin tak banyak publik Indonesia yang akrab dengan salah satu karya sastra klasik Amerika Serikat, Moby Dick, tapi di negara asalnya novel petualangan karya Herman Melville yang pertama kali dipublikasikan tahun 1851 ini sudah menjadi salah satu karya sastra yang wajib untuk dikaji dan dipelajari. Mungkin tak banyak pula yang tau kalau Moby Dick diinspirasi dari berbagai kejadian nyata, termasuk tenggelamnya kapal Essex asal Nantucket, Massachusetts tahun 1820. Kisah nyata ini tertuang pula lewat sebuah buku karya Nathaniel Philbrick tahun 2000, In the Heart of the Sea: The Tragedy of the Whaleship Essex. Buku ini sukses memenangkan National Book Award for Nonfiction di tahun yang sama. Tahun 2015 ini, salah satu sutradara visioner Hollywood, Ron Howard mencoba menggabungkan cerita In the Heart of the Sea dengan Moby Dick ke dalam sebuah film berjudul In the Heart of the Sea (ITHOTS). Howard menggandeng Charles Leavitt (Blood Diamond, Seventh Son) untuk mengadaptasi ke dalam bentuk skenario.
Cerita bergulir ketika Herman Melville yang saat itu baru saja mempublikasikan novel yang sukses, tertarik untuk mendatangi mantan kru kapal pemburu paus Essex, Tom Nickerson. Sebenarnya Tom enggan menceritakan kejadian yang membawa trauma baginya hingga saat itu. Namun karena kebutuhan materi dan dorongan dari sang istri, Tom bersedia menceritakan detail kejadian selama berada di kapal Essex, mulai perseteruan antara Owen Chase yang berpengalaman sebagai pemburu paus sembur (Sperm Whale itu terjemahan yang lebih tepat paus sembur, bukan paus sperma!) dengan kapten George Pollard yang ditunjuk sebagai kapten kapal hanya karena salah satu anggota keluarga pemilik perusahaan, sampai survival setelah kapal Essex hancur lebur oleh seekor paus sembur raksasa dan mereka harus terdampar di lautan selama 90 hari.
Basically, fokus utama cerita ITHOTS adalah petualangan survival para awak Essex selama 90 hari. Tentu saja ‘jualan’ utamanya adalah adegan-adegan serangan paus sembur yang mendebarkan. Kedua, upaya survival yang mencoba untuk membuat penonton iba, dengan penderitaan seperti badan yang jadi kurus kering, bahkan untuk Chris Hemsworth yang selama ini berpostur kekar sekalipun. Dua komoditas utama ini jelas untuk memposisikan ITHOTS sebagai film blockbuster yang menghibur dan menawarkan adegan-adegan epic. Namun Howard dan Leavitt tak sekedar memposisikannya sebagai film blockbuster semata, tapi memasukkan unsur-unsur yang juga bisa memposisikannya sebagai film yang berbobot. Upaya ini terlihat sekali lewat cukup banyak unsur-unsur dilematis moral yang dimasukkan ke dalamnya, mulai persaingan kepemimpinan antara Owen Chase dan George Pollard, antara ego pribadi dan pengalaman, moral dan survival, sampai kejujuran dan kepentingan ekonomis. Bahkan perburuan paus yang menjadi unsur utama cerita pun dibidik sebagai suatu kesalahan, disesuaikan dengan kecenderungan saat ini dimana keberadaannya yang langka menjadi terlarang untuk diburu, dengan mengambil angle kejadian naas yang menimpa awak kapal Essex sebagai karma dari perburuan paus. Tentu upaya ini patut diapresiasi lebih, termasuk juga lewat dialog-dialog quotable yang cukup banyak bertebaran. Apalagi ternyata Howard lagi-lagi berhasil menampilkan momen-momen paling menyentuh di sini. Ditambah adegan-adegan disaster yang menegangkan, ITHOTS sekali lagi membuktikan betapa masterful-nya Ron Howard, di balik alur cerita dan para karakter yang sebenarnya harus diakui di sini, tidak begitu banyak berkembang dan tergolong biasa-biasa saja di genrenya. Nevertheless, semuanya masih menjadi kesatuan yang enjoyable.
Meski tak ada yang sampai pada tahap brilian, aktor-aktornya bermain dengan maksimal dan pada kapasitas pas di masing-masing peran. Chris Hemsworth masih berhasil menjadi hunk lead yang kharismatik. Transformasi tubuhnya menjadi kurus kering yang sempat jadi salah satu ‘komoditas’ juga patut diapresiasi. Benjamin Walker memainkan karakter Kapten George Pollard dengan pas; angkuh, berusaha menjaga wibawa meski sadar tak sekuat itu, namun punya juga momen-momen revealing yang mampu mengundang simpati penonton. Brendan Gleeson-Michelle Fairley sebagai Mr. dan Mrs. Tom Nickerson punya satu momen yang termanis sepanjang film. Ben Whisaw sebagai Herman Melville bagi saya mampu mencuri perhatian meski porsinya tak begitu banyak dan kapasitas karakternya juga tak memberikan cukup ruang untuk mengeksplorasi akting lebih dalam. It’s simply because of his charisma.
Visual effect jelas memegang peranan penting dalam menghidupkan adegan demi adegan, terutama sang paus sembur raksasa yang begitu hidup dan mengancam. Tata suara pun mengimbangi dengan deep bass yang terasa bertenaga dan pemanfaatan fasilitas surround yang maksimal, terutama saat badai dan serangan paus sembur. Extra credit untuk 4DX yang cukup memaksimalkan fasilitasnya. Mulai kursi yang bergerak-gerak lembut seolah seperti berada di dalam kapal di atas lautan yang tenang serta berguncang kencang saat badai dan paus sembur menyerang. Namun tidak sampai membuat mual. Semburan air diletakkan pada momen-momen tertentu yang pas, tidak diumbar sepanjang film, sehingga terasa maksimal. Terakhir, aroma gosong saat adegan ledakan dan aroma laut di momen-momen yang bertujuan menenangkan, jadi efek 4DX favorit saya.
Utamanya, ITHOTS memang disiapkan sebagai film blockbuster yang menghibur dan megah. Sehingga kemasan luarnya cukup mengundang. Ditambah moral dilemma yang cukup banyak, manusiawi, dan relevan dengan setting, membuatnya jadi lebih berbobot, dan saya sangat menghargai itu. Award material? Hmmmm saya rasa belum cukup kuat sampai pada tahap itu. But at least ITHOTS jadi perpaduan cerita tenggelamnya Kapal Essex dan Moby Dick yang menarik dan cukup menghibur.
Lihat data film ini di IMDb.
0 Response to "The Jose Flash Review In the Heart of the Sea"