Meski masih belum seebesar negeri-negeri industri film Eropa seperti Perancis dan Jerman, perfilman Norwegia sebenarnya berkembang cukup masif, terutama setelah era 2000-an. Tak hanya beberapa judul populer yang berhasil dipasarkan secara internasional, seperti The Troll Hunter, Headhunters, dan Kon-Tiki yang sempat masuk bioskop Indonesia secara terbatas, ada pula yang berhasil menembus persaingan kategori Best Foreign Language Film Academy Award. Terakhir, Kon-Tiki yang 2012 lalu masuk nominasi. Untuk Academy Award tahun 2016 ini Norwegia secara ofisial mengirim perwakilannya untuk bersaing memperebutkan piala Oscar: The Wave atau yang judul aslinya Bølgen, karya sutradara Roar Uthaug. Meski tak berhasil menembus shortlist bulan Desember lalu, kita di Indonesia beruntung punya kesempatan untuk menilai kelayakan film bertemakan disaster ini.
Bertahun-tahun bekerja sebagai pakar geologis yang mengamati aktivitas Gunung Åkneset di sebuah desa kecil bernama Geiranger, Kristian memutuskan untuk menerima pekerjaan sebagai analis pertambangan yang lebih menjanjikan kehidupan jauh lebih baik. Maka Kristian harus pindah dari Geiranger, memboyong istrinya, Idun, yang bekerja sebagai resepsionis hotel, putra sulungnya, Sondre, dan putri bungsunya, Julia. Namun sehari sebelum rencana kepindahan mereka, Kristian mendapati aktivitas yang tak wajar dari fjord Gunung Åkneset dan bisa memicu tsunami setinggi 250 kaki dalam 10 menit saja. Namun rupanya sudah terlambat untuk mengevakuasi seisi desa dan terutama, keluarganya sendiri.
Apa yang paling utama Anda harapkan dari sebuah film bertemakan disaster atau bencana? Tentu saja adegan bencana spektakuler yang tentu mengandalkan visual effect mumpuni serta berhasil menghadirkan ketegangan lewat survival manusia-manusia yang terjebak di tengah-tengahnya. Untuk tema tsunami, The Impossible (2012) karya sutradara J.A. Bayona, berhasil menghadirkan horor bencana sekaligus drama kemanusiaan dan keluarga secara seimbang. The Wave pun sebenarnya menawarkan konsep yang kurang lebih sama. Porsi terbesarnya adalah bagaimana Kristian menyelamatkan keluarganya. Belum lagi sang istri, Idun, yang terjebak bersama putra sulungnya, mau tak mau mengingatkan saya akan karakter Maria (Naomi Watts) di The Impossible. Namun rupanya Uthaug belum mampu menghadirkan thrill maupun drama yang setara karya Bayona. Oke, adegan bencana utama dan survivalnya bolehlah sempat sedikit menimbulkan was-was dari diri saya, tapi durasinya ternyata tak berlangsung lama. Penyebabnya adalah peristiwa bencananya sendiri yang memang tak berlangsung lama. Sisanya, bagaimana Idun dan Sondre bisa segera diselamatkan dari jebakan bawah tanah dan harus mengejar waktu genangan air yang semakin meninggi. Drama antara Idun dan Sondre pun belum berhasil membuat waktu yang kritikal bisa juga dirasakan oleh saya (baca: penonton). Inilah yang membuat The Wave akhirnya jatuh menjadi sekedar just another disaster movie, tanpa mampu mengundang emosi yang cukup untuk membuat penonton bisa merasakan seolah benar-benar berada di tengah-tengah film.
Praktis, kelebihannya hanyalah terletak pada penjelasan ilmiah yang detail dan realistik tentang terjadinya tsunami dan panorama Gunung Åkneset yang memang memanjakan mata.
Di jajaran cast, hampir kesemuanya tampil cukup pas memerankan karakter sesuai porsi masing-masing. Kristoffer Joner (yang tahun ini bakal kita lihat juga di The Revenant) memerankan karakter Kristian sebagai ayah yang sayang keluarga meski seringkali ambisius dan menomer satukan pekerjaan. Ane Dahl Torp mampu mengimbangi sekaligus menghadirkan chemistry yang cukup dengan Joner. Selain dari itu, tak ada aktor maupun aktris yang benar-benar mampu mencuri perhatian di layar.
Adegan tsunami yang dibuat malam hari mungkin punya tujuan tersendiri untuk meminimalisir detail visual effect, yang artinya juga bisa menghemat budget (konon kabarnya film ini hanya berbudget sekitar US$ 6 juta. Angka yang relatif kecil untuk genre disaster). Saya sempat mencermati detail visual effect-nya dan mendapati CGI arus air raksasa yang cukup mumpuni dan terlihat sangat realistik. Sayangnya visual memuaskan ini tak diimbangi dengan tata suara yang cukup mampu mengimbangi kedahsyatan adegan tsunami. Suara arus air raksasa jadi terkesan biasa saja, tanpa volume maupun bass yang cukup menggelegar. Ini terasa cukup aneh mengingat di adegan-adegan lain, sebelum maupun sesudahnya, ia berhasil menghadirkan detail suara yang clear, crisp, bass yang terasa, serta pembagian kanal surround yang terdengar jelas. Dengarkan saja suara tanah yang bergerak dan efek suara di dalam genangan air ketika Idun dan Sondre berusaha meloloskan diri.
The Wave mungkin memang terkesan just another disaster movie yang gagal untuk menjadi remarkable seperti The Impossible. Family survival drama-nya tak buruk, namun juga belum terlalu kuat untuk benar-benar menarik simpati penonton. Jadi tonton saja The Wave untuk menambah pengetahuan tentang kemungkinan terjadinya tsunami (yang konon sebenarnya bisa saja terjadi pada Gunung Åkneset sebelum filmnya dirilis di negaranya sendiri) dan pemandangan Desa Geiranger yang memang menyegarkan mata. Tak lebih.
Lihat data film ini di IMDb.
0 Response to "The Jose Flash Review The Wave / Bølgen"